SANG PENCARI
Sang Pencari tengah sendiri,
menulis puisi jelmaan kata hati,
merangkai kata mencari makna,
bermain pena membatik aksara.
Sang Pencari tengah bernyanyi,
memetik gitar di awal pagi ,
menggesek biola di ujung senja,
mengusung cerita melalui nada.
Sang Pencari tengah bertapa,
berpejam mata menutup rasa,
menahan lapar sepanjang hari,
tanpa satupun teman berbagi.
Sang Pencari tengah berkelana,
berkendara kuda tanpa pelana,
mendaki gunung puncak tertinggi,
menerjang ombak laut tak bertepi
Sang Pencari tengah berdoa,
memohon ampun segala dosa,
atas nama Tuhan dia berjanji,
tak ada kesalahan akan terulangi.
Wahai para pencari,
sudilah engkau datang kemari,
kabari aku semua pengalamanmu,
sesungguhnya aku sama sepertimu.
DO'A SANG PENCARI
Tuhan,
selembar daun yang jatuh,
Engkau tahu dengan pasti,
maka tak pernah kuragukan,
Engkau tahu pasti pula,
selembar hati dan jiwaku,
yang lusuh,
penuh coretan-coretan,
dan gambar-gambar tak beraturan.
Tolong aku Tuhan,
menghapus semua,
karena betapa sulitnya,
jika kulakukan sendirian,
tanpa melibatkanMu.
Tuhan,
apalah arti daya dan upayaku,
ketika Engkau tak berkehendak,
karena aku tahu,
tak ada yang bisa menolak,
jika Engkau berkehendak,
dan tak ada yang bisa menerima,
jika Engkau tak berkehendak.
Aku tak ingin sendiri,
menapaki sisa-sisa hidupku,
sertai aku Tuhan,
temani aku,
aku tak sanggup sendiri,
meniti hari-hari yang sepi.
Tuhan,
andai pucuk pinus bisa kududuki,
aku ingin selalu ada di sana,
menyepi,
di tempat tertinggi,
agar aku dekat denganMu,
selalu memujaMu,
menjilat manisnya kasihMu,
menghisap bahagia sejati.
jauh dari goda dunia,
yang hanya menipu,
semu,
penuh kepalsuan.
Maka jagalah aku, Tuhan.
SAJAK-SAJAKMU SEJUKAN JIWAKU
Dulu kau adalah angin lalu,
berat mata ini untuk melihatmu,
tapi apakah telah berubah saraf mataku?
ketika kini tiada bosan aku memandangmu.
Dulu kau kembang yang selalu kuncup,
kusayangkan tanganku menyentuhnya,
tapi saat ini seperti kau sihir aku,
ketika kembang itu mekar indah berseri.
Maafkan atas keangkuhanku,
mungkin terpaksa menjilat ludah sendiri,
dan semua ini begitu saja terjadi,
sejak sajak-sajakmu sejukkan jiwaku.
WALAU TAK SEINDAH MATAMU
Walau tak indah di matamu,
itulah caraku menyayangimu,
hingga kelak kau akan tahu,
betapa besar cinta di hatiku.
Walau membuatmu sakit,
itulah caraku agar kau bangkit,
karena aku inginkan yang terbaik,
bagimu sang penghuni lubuk hati.
Lihatlah awan putih di sana,
menghias angkasa dengan ketulusannya,
meski tak ada ucapan terima kasih,
dia akan selalu membiaskan sinar kasih.
Suatu hari nanti,
kau akan membenarkanku,
dan semua yang anggap kejam,
adalah keindahan yang terpendam.
WALAU HANYA DALAM MIMPI
Walau hanya dalam mimpi,
aku benar-benar menikmatinya,
berada di istana tanpa penjaga bersenjata,
tak ada kekhawatiran akan celaka.
Walau hanya dalam mimpi,
aku telah berada di sana,
bercengkrama dengan bunda theresa,
berguru cara mencintai kaum kelas tiga.
Walau hanya dalam mimpi,
aku jadi semakin mengerti,
ketika bunda Rabiah Al-Adawiyah,
mengajariku mabuk cinta kepadaNya.
Walau hanya dalam mimpi,
biarkan aku mencoba,
menjadi seperti para pencinta sejati,
yang tak berpamrih begelimang harta.
Walau hanya dalam mimpi,
aku tak ingin terbangun lagi,
karena ketika kubuka mata,
kujumpai lagi dunia penuh kemunafikan.
UNTUK SEORANG KAWAN
Aku tahu yang kau inginkan,
saat sinar matamu mengisyaratkan kesenduan.
Kerinduanmu akan kemesraan yang kau impikan,
sepertinya makin jauh dari genggamanmu
Aku tahu kau mampu memecahkan selubung hitammu
Tapi bukan itu yang kau dambakan
Kau dirindukan oleh apa yang selalu melekat di hatimu
Tapi kau bertahan, berdiri di sini dengan tegarmu
Kawan, jangan kau halangi kekagumanku padamu
Tunjukkan pada semua tentang harapan-harapan indahmu
Menangislah, menangislah untuk sekelompok bangau yang terbang
Ikutlah, menarilah di ketinggian langit bersisik awan
Kawan, beri aku alasan untuk selalu berguru padamu
Kalau derita bagimu adalah sebuah manisan,
kalau kelelahan bagimu adalah sebuah hiburan,
maka, jangan pernah berhenti menjadi pengasuhku
UNTUK IBU
Ibu, wajah berserimu itu sekarang kulihat tua.
Tubuh tegarmu itu sekarang mulai melemah.
Sinar mata yang tajam saat memarahiku dulu,
kini tak pernah lagi kulihat.
Ibu, Aku rindu marahmu
Cubit lenganku lagi sampai berwarna merah
Merahkan juga telingaku dengan kritik tajammu
Lakukan saja apapun yang kau mau padaku
Kau injak kepalakupun kan kuserahkan dengan tersenyum
Ibu, aku bukanlah siapa-siapa di depanmu.
Yang dulu tak pernah bisa ke mana-mana,
tanpa meringkuk di gendonganmu.
Sekarang masih seperti dulu, Bu.
Aku hanya seonggok daging kecil,
yang tak pernah bisa bernafas tanpa kasihmu
Ibu, sudah berapa kali aku melukaimu?
Pasti sudah hilang kan catatanmu?
Sedangkan aku masih memiliki catatan-catatan bodohku,
yang merasa telah kau kecewakan.
Ibu, Dapat kuhitung dengan jari tanganku,
berapa kali aku membuatmu tersenyum,
berapa lembar kain yang pernah kubeli untukmu
Tak banyak kan?
Tapi kenapa kau tak pernah meminta?
Ibu, aku takut kau tinggalkan aku,
karna aku memang tak pernah siap kau tinggalkan.
Aku sangat membutuhkan teguranmu
Aku ingin melihatmu setiap pagi
TETAP MELANGKAH
Tetap melangkah,
setapak demi setapak,
tak ingin berpaling lagi,
pada masa lalu yang tertinggal.
Jalan di depan masihlah panjang,
indah berliku dirimbuni pepohonan,
bagai pion kecil di papan catur,
sekali maju pantanglah kembali.
Hari ini bukanlah kemarin,
bukan pula hari esok,
kalau diam dan terpaku,
roda jaman akan menggilas.
Tujuan itu masih jauh,
di ufuk barat daya tampak membiru,
tapi jarak bukanklah halangan,
panas dingin bukanlah beban.
Tetap melangkah,
di jalan yang makin lapang,
sesekali rehat di tepi,
menikmati sinar mentari.
TERATAI PUTIH
Sekuntum bunga Teratai di hati,
warnanya pucat pasih,
tetapi masih bersinar kemilau.
Takkan pernah layu walau panas menerpa,
takan pernah hanyut walau diterjang badai.
Ketika malam mata tak dapat terpejam,
hina dina di mata kan sirna seketika,
lantaran Terataiku ada bersama.
Bukan nyali yang tersembunyi,
hanyalah seberkas tawa yang terbalut nestapa.
Mayapada ini selalu berdiri,
akan sebuah persaksian suci.
Sembari cakrawala mengatur langkahnya,
aku bertapa di kesunyian,
ditemani keindahan dan kemurnian,
Sang Teratai abadi.
TEMANI TEMANKU
Temani temanku,
dia membutuhkanmu,
bagai burung membutuhkan sayap.
Dia menunggumu,
bagai kemarau menunggu hujan.
Dia menyayangimu,
bagai Bisma menyayangi Pandawa.
Dia merindukanmu,
bagai pungguk merindukan bulan.
Tidakkah kau tahu,
kami sama-sama lelaki,
telah lama seiring di jalan terjal,
memikul beban bahu membahu,
mengayuh sampan meniti hidup.
Jika dia menangis,
tumpah pula sebejana air mataku.
Jika dia tersakiti,
tercabik pula rasa dalam jiwaku.
Tamani temanku,
walau aku tahu pasti,
kau dan aku ingin saling menemani,
tetapi biarlah begitu,
dia lebih pantas mereguk bahagia,
tak usah kau risaukan aku,
kekecewaan bukanlah hal baru bagiku,
dan demi kasih kita yang indah,
sayangi dia seputih kasihmu padaku.
TANDA MATA
Lancangkah aku mengartikan?
Terlalu dinikah aku menyimpulkan?
ketika kulihat tanda-tanda di matamu,
dan isyarat-isyarat di senyummu,
serta segala lembut tutur katamu.
Pantaskah aku yang menunggu?
Layakkah aku yang dirayu?
sedang kau tahu dengan pasti,
aku tetap akan diam membisu,
ketika kau berdiri tepat di depanku.
Jatuhkan vonis padaku sesukamu,
jika kau rasa itu bisa mengubahku,
tapi aku tahu pasti siapa diriku,
yang tak akan pernah bisa mengartikan,
tentang tanda-tanda di matamu.
TANAH INI
Tanah ini,
pernah dipertahankan dengan ujung belati,
oleh orang-orang pemberani,
yang tak mau bangsanya diperlakukan keji..
Tanah ini,
menjadi saksi abadi,
tentang cita-cita suci,
dari para pemilik hati nurani.
Tanah ini,
dijaga Bung Karno hingga ke bui,
dicinta Bung Hatta sampi mati,
ditukar nyawa Walter Monginsidi.
Tanah ini,
jangan hargai sebatas investasi,
jangan pernah dibagi-bagi,
kepada orang serakah penjual negeri.
Tanah ini,
tempatnya Gus Dur mengaji,
tempatnya Rendra berpuisi,
mereka tak rela tanah ini dikotori.
Tanah ini,
bukan milik kaum berdasi,
bukan ajang berebut uang korupsi,
bukan pula arena judi.
Tanah ini,
saksi bisu reformasi mati suri,
hingga saatnya nanti,
keadilan bukan hanya sebuah ilusi.
TAK ADA YANG ISTIMEWA
Tak ada yang istimewa,
semua terjadi begitu saja,
saat angan kita berbicara,
tentang sebuah cerita.
Aku tetap bersahaja,
hanya diam seribu bahasa,
kala lentik matamu berkata,
ada sesuatu yang tak biasa.
Biarlah kita permainkan rasa,
agar kau cepat jadi dewasa,
karena kau masih terlalu belia,
untuk mengerti sebuah makna.
Jika telah usai kau baca,
tulisanku yang tak seberapa,
mungkin kau bisa menerka,
di balik semua canda tawa.
Tak ada yang istimewa,
yang terjadi di antara kita,
janganlah kau mengada-ada,
dari pada berakhir kecewa.
TABIR JIWA
Terpekur di gerbang harapan.
Ketika impian telah kulipat rapi,
di almari berpintu besi,
yang anak kuncinya telah kupatahkan,
kubuang,
hanyut,
jauh,
di telan laut Jawa.
Awan putih telah meninggalkan bulan.
Bergegas mengejar layang-layang,
yang terkoyak di bagian atasnya,
terpelanting,
tergores,
terantuk sebongkah batu meteor.
Jaman telah pudar,
masa telah berganti,
benalu-benalu terkulai di dahan kering.
Mengisyaratkan kesenduan jiwa yang retak,
menjerit,
mengaduh,
merintih tanpa tahu apa sebabnya.
Ilmuku tak pernah menjangkau,
sebuah tabir yang tersibak.
Akalku tak pernah menyentuh,
keniscayaan yang tergambar jelas,
di depan mata,
di ambang hati,
di seluruh helaan nafasku.
SUNYI
Ingin bertanya,
tapi pada siapa,
sedang semua membisu,
tak ada yang mau tahu.
Sepi selalu menyambut,
hanya sebatang rokok tersulut,
dan cicak yang berebut nyamuk,
menemani indahnya kesendirian.
Mimpi-mimpi yang tersusun rapi,
semua telah kembali berserakan.
Bunga-bunga yang bermekaran,
biarlah kuncup seperti sedia kala.
Hanya bisa berharap,
kembalinya sesuatu yang telah pergi,
walau lama akan dinanti,
walau jauh akan dicari.
Kenapa ada rasa takut,
ketika tahu semua adalah fana.
Kenapa mencari bahagia,
sedangkan semua ada di depan mata.
SUMPAH MURAH
Ketika sumpah kau anggap begitu murah,
walau tak seorangpun memberi perintah,
sehari semalam kau ucap melimpah ruah,
karena jujur dan tidak bukanlah masalah,
Sebenarnya siapa yang ingin kau yakinkan,
sedang sejatinya kau sedang ditertawakan,
karena sumpahmu bukan wakil kebenaran
hanyalah penghias bibir penuh gurauan.
Jika kebenaran seiring dengan tutur kata,
tanpa memaksapun kau akan dipercaya,
dan berkacalah pada manusia bijaksana,
yang jujur bersumpah setelah dia diminta
SUDAH TERBUKTI
Wajah tampanmu, paras cantikmu, badan kekarmu, indah kulitmu, kilau rambutmu, usia mudamu, apakah telah memberi nilai lebih bagimu? Kau akan menjawab itu adalah kelebihanmu, padahal kau tahu itu bukan prestasi yang kau usahakan sendiri. Sebelum lahir tak ada yang bisa memesan bentuk badanmu. Kau terima begitu saja apa adanya. Untuk apa semua itu dibangga-banggakan jika hanya jadi penghalang cahayaNya?
Setiap saat kau bercermin, seolah-olah takut hilang kecantikanmu, ketampananmu. Padahal dari kemarin masih tetap seperti itu. Dan siang malam kau sering disibukkan hanya untuk merawat badan.
Ingatlah, semua itu akan rusak jika telah sampai waktunya.
Kau keluarkan biaya berjuta-juta hanya takut ada satu jerawat yang hinggap, sedangkan sedikit membantu yang kekurangan, kau enggan melakukannya.
Kau begitu ketakutan kala garis keriput telah tergambar samar-samar. Krim anti aging benarkah bisa menunda ketuaan kulitmu?
Kala yang lain berbusana tertutup rapat, kau bilang itu menghilangkan pamor. Benarkah?
Apakah keindahan fisikmu untuk dipamerkan? Atau untuk diperlombakan?
Sudahlah kawan, sudah banyak terbukti, banyak contoh, keindahan fisik telah menghalangi cahayaNya menembus hati, bahkan menjerumuskan pada kehancuran dunia dan akhirat. Lihat para pesohor rupawan yang tengah dilanda masalah karena tak mampu mensyukuri kerupawanannya. Benar, ini sudah terbukti.
Baginda Yusuf AS, Bunda Aisyah ”Sang Humaira”, patutlah kau contoh kemuliannya, walau dianugerahi keindahan fisik jauh melebihi yang kau punya.
SETELAH YANG SATU INI
Setelah yang satu ini,
masih bisakah kau pungkiri,
apa yang kau lakukan di kamar terkunci,
yang kau kira tempat aman tersembunyi,
dan tak ada satupun yang bisa jadi bukti.
Jika Dia menghendaki,
pengadilanNya dilaksanakan juga di bumi,
saksinya kamera yang benda mati,
jaksanya para penjaga hati nurani,
dan jutaan manusialah yang menghakimi.
Setelah yang satu ini,
kelak akan kau hadapi pengadilan lagi,
tiada guna kau sampaikan seribu pledoi,
karena Hakimnya tak mau berkompromi,
dan saksinyapun anggota badanmu sendiri.
SEROJA
Perlukah aku meminta maaf pada sang malam,
karena acap kali kuusir dia dari hadapanku,
agar segera kulihat jendela pagi yang indah,
agar segera kujumpai sapa sambutnya,
dan kutatap lagi matanya yang seperti bintang.
Dahulu kala pernah kurasakan rasa seperti ini,
entah kapan dan di mana aku mengalaminya,
kini kau ingatkan aku cara membuka hati,
bagai lelap tertidur dan terbuai dalam mimpi,
kau membawaku terbang dengan sayap putihmu.
Wahai dara,
andai aku pujangga pastilah aku telah memuja,
mengibaratkanmu bagai bunga seroja,
merayumu dengan untaian puisi dan prosa,
tapi kata-kata yang kurangkai selalu tanpa makna.
Jika saat ini ingin kuusir malam sekali lagi,
semata-mata bukan karena aku membencinya,
tapi semua kulakukan untukmu,
lantaran tiba-tiba kurasakan rindu,
padamu.
SEMOGA BAHAGIA
Semoga aku berbahagia,
karena aku mencintai diriku,
dan sampai pada detik ini,
aku masih tetap berjaya.
Semoga ibuku berbahagia,
karena tanpa kasih sayangnya,
aku takkan pernah ada,
dan tak pernah kulihat terang dunia.
Semoga keluargaku berbahagia,
karena aku besar di antara mereka,
memberiku pengalaman berharga,
mengajariku tentang mencinta,
Semoga teman-temanku berbahagia,
karena aku hidup di antara mereka,
menjalani hari saling berbagi,
seiring sebaris di perjalanan.
Semoga seluruh manusia berbahagia,
karena aku bagian keluarga besar dunia,
dan seandainya semua umat berbahagia,
terciptalah kedamaian yang sebenarnya.
Baik yang benyawa maupun tidak,
baik di bumi maupun di luar bumi,
baik yang terlihat maupun tak terlihat,
semoga setiap mahluk berbahagia.
SELAMAT MALAM,,PAGI
Pagi yang membias di pedalaman hati,
menerangiku untuk menelusuri jejakmu,
di antara selaksa puing reruntuhan rasa,
kucoba menyusun piramida kenangan.
Pagi yang pernah mengantarkan kita,
meniti jalan indah di tengah taman bunga,
meyaksikan kuncup-kuncup bermekaran,
menebarkan wangi di seluruh maya pada.
Pagi yang kini menaungi kita,
tak lagi bisa kita nikmati bersama,
tapi dia tetap menjadi saksi abadi,
tentang perjalanan dua anak manusia.
Pagi yang telah beganti senja temaram,
menyisakan kehangatan tak tergantikan,
dan esok pasti kan kujelang sinarnya lagi,
kini kuucap selamat malam pada sang pagi.
SEKILAS KHILAF
Jangankan engkau,
aku sendiri tak mengerti,
tentang untaian kealpaan,
yang kerap kali terjadi,
menjangkitiku bagai sindroma,
akut tak tersembuhkan.
Lelahkah engkau,
untuk selalu mengerti aku,
tanpa menuntut dimengerti,
hingga sebuah kalimat,
saling pengertian,
menjadi tiada arti,
Sanggupkah engkau,
menobatkan kesabaranmu,
menjadi panglima,
yang tegar berdiri,
di garis depan hatimu,
untuk menghalau segala amarah.
Aku tahu engkau,
dengan mata indahmu,
memandang tulus kasihku,
memaklumi kemanusiaanku,
tanpa sedikitpun melihat,
sekilas khilaf-khilafku.
SEBELUM AKU TERLELAP
Sesaat,
sebelum aku terlelap,
ada yang menyelinap,
di sela-sela gelisahku.
Menunda mimpiku,
menahan kantukku,
mengusik anganku,
menuntun pikiranku,
hingga jauh,
menembus pagar hati,
lepas tanpa kendali.
Malam ini,
seperti sebelumnya.
masih tetap sama,
tak ada yang berubah.
Binatang malam bernyanyi,
semilir angin menemani,
sinar bintang bersembunyi,
bulan tertunduk,
tanda tak senang,
karena aku tak riang.
Siang tadi,
satu-satu kuingat,
apa yang kuperbuat,
mungkin tak disuka.
Bukan ingin sengaja,
hanya kelemahanku saja,
yang tak pernah bisa,
menyejukkan suasana,
memenuhi semua keinginan,
yang digantungkan padaku.
Sesaat,
sebelum aku tertidur,
sebelum aku mendengkur,
hanya ingin mengucap salam,
menyampaikan maafku,
pada setiap mahluk,
tentang kealpaanku,
yang selalu terulang,
dan tak bisa kuubah,
walau aku ingin berubah
SATU-SATU PERGI
Satu-satu pergi,
mohon diri di batas sepi,
meninggalkan sederet luka,
sakitnya tiada dapat tergambar.
Satu-satu pergi,
terpisah di ujung pagi,
tercerai di batas senja merah,
mengiris, menyilet, membekaskan garis duka.
Tanah ini telah kau pijak sejak lama,
air sumur ini telah kau teguk sejak dulu kala.
jejak-jejak tapak kakimu belum lagi tersapu,
janjimu padakupun belum tuntas kau tunaikan.
Pulang, pulanglah,
selaksa tugas menatimu,
jangan berdiri termenung,
jangan tangisi kesendirianmu.
Satu-satu pergi,
biarlah begitu,
masa kan selalu berganti,
akan bertiup angin yang baru.
RAYUANKU PADA BINTANG
Bintang,
sekali lagi aku merayumu,
masihkah kau acuhkan aku?
sampai detik ini inginku masih sama,
mengharap kau datang ke sini,
dan membawaku pulang ke angkasa.
Tak pantaskah aku jadi penghias?
berjajar bersamamu di sana,
menjadi serpihan galaksi Bima Sakti,
menyejukkan hati penghuni bumi,
menghibur keresahan jiwa-jiwa terluka.
Bintang,
coba lihat ke mari,
tatap mataku,
adakah aku berdusta?
sedang kau tahu sejak aku dilahirkan,
tak pernah selingkuh dari pesonamu.
Jika kau turunkan tangga untukku,
aku akan memanjatnya seketika,
jika kau lemparkan tali ke sini,
aku rela terlilit bergelantungan,
agar bisa mendekati singgasanamu,
dan merasakan hangatnya sapamu.
Bintang,
sebetulnya siapa yang salah?
aku ataukah engkau?
mengapa kau biarkan aku patah hati?
sedang kau tahu aku tak pernah merasakan,
sakitnya patah hati di sini.
Bintang,
Aku takkan pernah bosan merayu,
tak pernah berhenti memujimu,
tak pernah jemu mengadu padamu,
hingga kau benar-benar terbuai,
dengan manisnya bujuk rayuku.
PUTERI
Menjelang purnama datang,
benang-benang kusut telah kuluruskan,
kupintal menjadi sehelai syal,
yang kulilitkan di leher jenjangmu.
Padi di sawah mulai merunduk,
rumput-rumput basah telah disingkirkan,
aroma tanah mengisyaratkan mekarnya asa,
membakar segala gundah di hatimu.
Dayang-dayang berderet menanti titah,
dari sebuah fatwa agung.
Lilin-lilin merah telah dinyalakan,
menerangi setiap jengkal tanah di depanmu.
Puteri, naiklah ke kereta itu,
yang akan membawamu ke singgasana hatiku.
Senyumlah untuk sebuah kemenangan,
yang kau usahakan sejak kau mengenal dunia
PUJA-PUJAKU
Aku memuja bunga,
karena dia tak pernah tergantikan,
harum sendiri tanpa pewangi,
indah merona tanpa diwarnai,
mekar berseri penyejuk hati.
Aku memuja awan,
menjadi lukisan di langit biru,
diterjang angin tiada bergeming,
jatuh ke bumi disambut senyum,
turun hujan membentuk harapan,
Aku memuja angin,
ke sana ke mari sesuka hati,
menerpa daun jadi menari,
menerjang laut menjadi ombak,
mendorong perahu menebar layar.
Aku memuja bulan,
bersinar redup menghias malam,
menerangi bumi di kala gelap,
menjadi inspirasi para pujangga,
terselip rapi di dalam sajak.
Aku memuja bunga,
aku memuja awan,
aku memuja angin,
aku memuja bulan,
dan segala pujaku bagi penciptanya.
JANGAN BANGUNKAN AKU
Jangan bangunkan aku,Image
kumohon,
mimpi ini terlalu indah untuk kutinggalkan.
Alam nyata terlalu menyesakkan untuk kupandangi
Jangan bangunkan aku,
dewa-dewi tengah menebarkan salam padaku,
sinar matanya seteduh mata ibuku,
sapa hangatnya selalu memanusiakan aku.
Jika bisa kupilih,
aku ingin terlahir kembali di sini,
bermain dengan bocah-bocah telanjang kaki,
rebah di rumput berselimut jerami.
Ini dunia buta dengan kasta,
tanpa raja, tanpa pula perdana menteri,
burung-burung kecilpun siap mengadili,
pada siapapun yang ingkar nurani.
Jangan bangunkan aku,
walau matahari telah meninggi,
karena aku selalu takut,
menjadi penghuni peradaban mati.
MENANGISLAH BUNDA
Bunda,Bunda
aku memang tak melihat,
hari di mana kau dilahirkan,
tetapi aku yakin,
hari itu pastilah hari yang indah,
langit memerah jambu,
awan berdesakan hendak turun,
mentari mengerlingkan mata,
sorepun tak ingin beranjak menjadi malam,
karena gembiranya dunia,
menyambut kehadiran wanita mulia.
Bunda,
aku memang tak melihat,
hari di mana aku dilahirkan,
hari yang kau senyumi,
hari yang kutangisi,
hari yang tak pernah kunanti,
karena ketakutanku yang amat sangat,
tentang sebuah balas budi,
dan janji-janji bakti,
yang tak mungkin kupenuhi,
untuk mewujudkan harapanmu.
Bunda,
aku masih bisa melihat senyummu,
kurang lebih,
hampir sama seperti senyummu dulu,
ketika kau melahirkanku,
tetapi ijinkan aku bertanya,
bukankah bulan tak selamanya purnama?
dan embun pagi akan diteguk binatang melata,
akupun telah tak telanjang lagi,
karena berbaju tebal keangkuhan,
maka seyogyanya,
menangislah bunda.
AKULAH RAJA ALENGKA
Aku memaknaimu bunga yang terjaga,
oleh ksatria perkasa mempesona,
Sang Rama Wijaya.
Tapi tercelakah aku memimpikanmu?
bukan untuk menyentuh paras bidadarimu,
bukan pula memelukmu di malam syahdu.
Aku tak ingin menghitamkan cinta putihmu,
aku hanya menunggu sesaat khilafmu.
Tahukah kau bunga?
telah kupelangikan rambut ikalmu,
hingga berhelai-helai warnanya,
menyeruak dalam-dalam di sukmaku,
menghujam rimbun di hati bagai serumpun bambu.
Karena kau adalah permata berbias sinar surga,
siapa yang tak tergoda memilikinya,
walau harus kucuri bertaruh nyawa.
Jika sudi melihatku,
jangan lihat dengan mata lentikmu,
karena hanya akan kau dapati sang durjana,
raksasa penebar prahara,
tapi lihatlah aku dengan rasamu,
dan akan kau temukan Rahwana dengan cintanya,
Karena bagaimanapun juga,
akulah raja Alengka,
yang hendak membahagiakanmu dalam istana kasihku.
INGIN KUSAJAKAN SENYUMMU
Ibu,
ingin kusajakkan senyummu,
seraya kupilih dan kupilah ribuan kata,
tetapi tak jua bisa kurangkai kalimat,
yang paling senonoh untukmu.
Biarlah puisi untukmu tetap kupingit di hati,
jika berkenan,
baca saja rangkaian prosa pada raut wajahku,
karena aku tak pernah memakai cadar dihadapanmu,
tangisku adalah tangisku dan tawaku adalah tawaku.
Aku mengenal kasihmu dengan sendiriku,
tanpa ada yang mengajari,
tanpa pula referensi,
dan karenamu juga aku bisa mengenal rindu,
yang kuyakini hingga riwayatku ditelan bumi.
Ibu,
aku tahu kita mencintai kesahajaan,
kita membenci kemunafikan,
maka untuk apa kututup rapat aurat tabiatku,
jika hanya untuk menyenangkanmu.
PUISI RINDU
Pernahkah kau melihat,
pelangi yang menjuntai,
warnanya merah jambu,
diseling ungu kebiruan.
Indah,
bagai tiara putri istana kahyangan,
siapapun yang melihatnya,
niscaya ingin menyentuhnya.
dan setelah dia hilang,
kau akan merindukan selamanya.
Pernahkah kau mendengar,
tiupan seruling di tengah malam,
bersama semilir angin menerpa,
menemani embun di keheningan,
Merdu,
bagai siulan malaikat kecil,
lirih menggetarkan sukma,
mengusik jiwa yang terjaga,
dan setelah suara itu lenyap,
kau akan merindukan selamanya.
Pernahkah kau rasakan,
saat hati tengah merindu,
akan sesuatu yang tak kau tahu,
tentang apa dan siapa yang kau rindu.
Bersyukurlah,
di hatimu masih ada rindu,
setidaknya untuk saat ini,
hatimu belumlah beku,
dan jagalah rasa rindu itu,
kepada Sang Pemberi Rindu.
PUISI MINIMALIS
Kulacurkan sastra,
di semak-semak kemunafikan,
gelap bertudung narsisme,
memperdaya logika naif,
mengurai syahwat terselubung,
Adakah pencerahan,
ketika penaku lantang bicara,
mengelabuhi kejujuran nurani,
meledakkan sebongkah ambisi,
dan kelekatanku pada gebyar dunia.
Jika sesal adalah akibat,
adakah sebab yang jadi penyebab,
tetap tak kutemukan jawaban,
hingga tertulis puisi minimalis,
di antara keinginan yang maksimalis.
PUISI CINTA
Jangan paksa aku menulis puisi cinta,
aku takkan pernah mampu melakukannya,
karna aku bukanlah pencinta sejati,
hanya Dialah Sang Maha Pencinta
Jangan suruh aku membuat karya sastra,
aku takkan sanggup menyamainya,
karna aku bukanlah sang pencipta kata-kata,
hanya di ayat-ayatNya tertulis karya sastra maha agung.
Sajakku hanyalah tetesan kuasaMu,
yang kupungut di sela-sela kebodohanku.
Bukan niat untuk dipuji,
karna pujian tidaklah penting bagi seorang pencariMu.
Kala nyayian jiwa terdengar sumbang di telinga,
gontai langkahku,
telungkup, tersedu
sebak rasa di dada
Wahai Sang Pemilik cinta,
Maha Pencinta,
berikan aku cinta,
jadikan aku pencinta,
walau hanya sebutir di tengah gurun pasir cintaMU.
PAHLAWAN
Bukan berteriak jihad,
tapi kemuliaan telah indah kau pahat,
meringankan beban sesama umat,
ketika bumi serasa bagai kiamat,
serentak kau menjadi sepakat,
bahwa semua mahkluk harus selamat.
Bukan mencari untung,
tapi nyawa rela kau sabung,
ketika jerit tangis menusuk jantung,
tak cukup kau duduk termenung,
atau hanya berdiri mematung,
kau tunjukkan langkahmu yang agung.
Bukan hanya berucap simpati,
mengobral janji menjual teori,
kau berdiri gagah berani,
memenuhi panggilan nurani,
menghibur ibu pertiwi,
yang tengah menangis bersedih hati.
Bukan memburu gelar pahlawan,
cukup disebut sebagai relawan,
menjujung tinggi nilai kemanusiaan,
menyelamatkan alur kehidupan,
tanpa mengharap imbalan dan pujian,
kau berjuang di jalan Tuhan.
NYANYIANMU..
Nyayianmu,
denting gitarmu,
menembus kulitku,
mengoyak dadaku.
Bulan terpana,
bintang mengernyit,
angin diam terhenti,
sejenak mendengarmu.
Bukan lagu sendu,
tapi membuat terpaku,
bukan lagu jenaka,
tapi membuat ceria.
Di manakah aku?
kembali ke jaman batu,
atau mengalami dejavu,
saat suaramu mengalun.
Andai bisa kubeli lagumu,
berapapun harganya,
rela kujual diri ini,
rela kugadaikan jantung ini.
Nyayianmu,
bagai pedang terhunus,
menikam rasaku,
membelah sukmaku.
NODAI AKU SEKALI LAGI
Jika aku masih kau anggap gagu,
maka rembulan adalah teman baikku,
karena aku banyak berguru padanya,
menimba ilmu tentang kesabaran,
dan kami sama-sama tak suka banyak bicara.
Aku tak ingin membalas fitnahmu,
sekeji apapun itu adalah bagian dari cerita,
yang harus kuhadapi dengan senyuman,
dan aku tak pernah bergeming dari sikapku,
karena aku tak ada urusan dengan kebencian.
Lihatlah kobaran api itu,
semua setuju kalau dia adalah pemusnah,
tapi setiap insan membutuhkan keberadaannya,
menikmati kehangatan dan terang sinarnya,
maka jangan pandang sesuatu hanya dari sisi kirinya.
Tak sadarkah kau dengan segala gunjinganmu,
menebarkan noda-noda hitam di wajahku,
mempermalukanku hingga anak cucu,
andai semua itu belum mampu memuaskanmu,
maka nodai aku sekali lagi.
MENGHITUNG NAFAS
Menghitung nafas,
satu demi satu,
nikmat sejuk terasa,
dan entah masih berapa banyak,
jatah udara segar untukku.
Mengikuti waktu,
detik demi detik,
bagai dibawa kereta berjalan,
dan entah masih berapa lama,
sisa masa yang kujalani.
Hidup bukan hak mutlakku,
sekedar menjalani masa peredaran,
jika Yang Punya hendak memanggil,
siang atau malam pantas adanya,
tiada daya untuk menghindar.
Jika masih bisa bernafas,
jika masih punya waktu,
sebelum berhembus nafas terakhir,
sebelum menghadapi detik terakhir,
jangan sia-siakan nafas dan waktumu.
LUKIS AKU DILANGIT-LANGIT HATIMU
Lukis aku di langit-langit hatimu,
bukan dengan sebilah kuas kecil,
tapi dengan ujung lentik jarimu.
Bukan dengan tinta aneka warna,
tapi dengan rona merah bibirmu.
Lukis aku di langit-langit hatimu,
agar ketika kau pejamkan mata,
senyumku masih bisa kau lihat.
Agar ketika dingin menjeratmu,
aku bisa hangatkan jiwa sepimu.
Lukis aku di langit-langit hatimu,
agar pertama yang kau pandangi,
saat bangun dari pulas tidurmu,
hanya salam dan sapa indahku,
yang membarakan awal harimu.
Lukis aku di langit-langit hatimu,
agar ke manapun kakimu berpijak,
aku selalu menyertai langkahmu,
menemani setiap gundah jiwamu,
walau jasad ini tiada bersamamu.
Lukis aku,
agar kau tak melupakanku,
agar aku selalu membayangimu,
karena aku telah melukismu,
di setiap sudut dalam sukmaku.
KEBUMIKAN NAMAKU DIHATIMU
Kebumikan namaku di hatimu,
pastikan hanya ada satu pusara di sana,
untuk kau ziarahi dalam tiap helaan nafasmu,
dan kau taburi dengan bunga cinta setiap waktu.
Seandainya kau ingin merangkai beberapa aksara,
untuk kau rentangkan menjadi sebuah nama,
yang akan kau baca di kala sedih dan gembira,
yakinlah tak akan ada nama indah selain namaku.
Sepertinya tak ada lagi yang perlu kau ingat,
akan segala hal tentang corak dan bias warnaku,
karena seinchipun aku tak pernah berjarak darimu,
dan melupakanku hanya terjadi dalam amnesiamu.
Kebumikan namaku di hatimu,
jadikan seakan aku anggota badanmu sendiri,
karena ketika ada yang mencoba menyakitimu,
akulah yang pertama kali merasakan perihnya.
GAULI AKU
Demi dirimu,
musnah kejayaanku,
hanya tinggal satu,
satu-satunya,
yang pertama-tama,
dan terakhir kali,
kugenggam erat,
rapat tanpa sekat,
sampai kapanpun,
tetap akan kuingat.
Dialah janji setiaku,
maka dari itu,
setialah kepadaku.
Pintamu padaku,
agar kucurahkan semua,
deburan kasih sayang,
tanpa menyisakan,
celah ruang di hati,
untuk nama selainmu,
walau tidaklah mudah,
telah kuperjuangkan,
mati-matian,
hingga mati rasa ini,
terhadap segala godaan,
maka dari itu,
sayangi aku.
Karenamu,
kini aku sendiri,
teman menjauhi,
runtuh kepercayaan diri,
hingga tiada kekuatan lagi,
singgasanaku terkudeta,
tak ada salam hormat,
hilang sambutan hangat,
sahabat setia pergi,
satu demi satu,
tak ada yang mau bergaul,
maka dari itu,
gauli aku.
FENOMENA DIMATA
Bukan penyebab sedih dan senangku,
ketika fenomena lalu lalang di depanku,
semua prasangka tak perlu kuyakini,
karena aku tak peduli kepastian lagi.
Benarkah yang kulihat warnanya putih?
sedang sejatinya ia berwarna hitam.
Benarkah yang kudengar nyayian surga?
sedang sebenarnya itu senandung setan.
Tak ada kebaikan dari mahluk apapun,
ketika kacamata ego ini masih kukenakan,
aku tak ingin berkutat dalam kebodohan,
lupa keindahan telah lama bersemahyam.
Tak ada kebahagiaaan yang abadi,
tak ada pula duka terus melukai,
datang tiba-tiba lalu menerpa,
pergi sendiri berlalu begitu saja.
ELANG JAWA
Wahai kau Elang Jawa,
lama tak kudengar kabarmu.
Sorot matamu tak setajam dulu.
Kepak sayapmu tak terdengar menggelegar lagi.
Di manakah keangkuhanmu?
Tampaknya kau tak lagi merindukan gemerlap duniamu.
Pelangi tempat kau menari kini telah melepuh,
warnanya pudar menjadi kelabu.
Telah habiskah sisa-sisa keperkasaanmu?
Wahai kau Elang Jawa
kau berdiam diri di goa batu putih itu.
Mencari jejak mimpimu yang telah lama hilang,
dicuri oleh anganmu sendiri.
Jikalau badai tak pernah berkunjung,
andai cahaya masih mengiringi terbang tinggimu,
tak kan pernah ada penyesalan di ujung paruhmu.
Ketika angin lirih telah murka menjadi badai,
maka kini kau temukan hidupmu sendiri.
DUSTA TERINDAH
Aku letih,
dengan semua dalih,
yang kau ucap dengan fasih,
meyakinkan kasihmu yang putih,
padaku yang tak bisa memilih,
hingga membuatku tersisih,
tertampar kepalsuan terbersih.
Aku penat,
menyaksikan segala siasat,
yang kau tebar penuh muslihat,
kau perankan tanpa ada cacat,
hingga terlihat bagaikan malaikat,
di balik niatmu yang berkarat,
menabur kebohongan terhebat.
Aku lelah,
menahan semua resah,
karena hatimu telah terbelah,
melemparkanku bagai sampah,
hingga kuakui aku telah kalah,
dan menahan rasa yang berdarah,
terlukai tajamnya dusta terindah.
DEMI YANG TERCANTIK
Demi yang kukagumi,
aku memberanikan diri,
untuk menulis sebuah puisi,
yang tak seindah pelangi,
namun sebuah kejujuran hati,
Demi yang kurindu,
aku rela menjadi debu,
dan tak pernah merasa jemu,
bediri mematung untuk menunggu,
pembebasan jiwa yang terbelenggu.
Demi yang kupuja,
biarlah aku menjadi lupa,
tentang diriku yang sebenarnya,
karena aku takkan pernah ada,
tanpa hembusan sebuah sabda.
Demi yang terindah,
aku sadar begitu rendah,
sedikitpun tak terlihat gagah,
berjalan saja harus dipapah,
agar tidak terjerembab ke tanah.
Demi yang tercantik,
lemah bibirku berbisik,
melantunkan kata terbaik,
tanpa dilapisi warna-warni lipstik,
tentang kebenaran yang setitik,
Demi yang tiada cacat,
aku selalu ingin mencatat,
makna-makna yang tersirat,
di antara dunia penuh siasat,
agar aku senatiasa selamat.
Demi keagunganNya,
aku selalu memuja,
aku selalu mengagumi,
aku selalu merindu,
akan semua keindahanNya.
CATATAN KAKI
Catatan-catatan panjang,
atas langkah-langkah kakimu,
yang tegak dan yang terhuyung,
yang lurus dan yang melengkung,
yang bebas dan yang terpasung,
pernahkah coba kau baca lagi?
Bukankah jalan lurus masih terbentang,
halus mulus dan menenteramkan jiwamu,
tapi mengapa kau pilih yang menyimpang,
kau lalui dengan secercah senyum,
walau terjal dan berbatu amat tajam,
dan perih di telapak seakan tak kau rasakan.
Coba tengok ke belakang sejenak,
jejak-jejak itu masih jelas terlukis,
tak mampu terhapus hujan yang menderu,
hingga musimpun telah berganti kemarau,
kaupun masih enggan mengingat suatu hari kelak,
saat dibukanya semua catatan atas langkah kakimu.
BUKAN INGINKU
Siapa juga yang ingin seperti ini,
hati yang dulu lapang terbentang,
kini sarat lukisan manis senyummu,
menelantarkan keangkuhan klasik,
jatuh berantakan berkeping-keping,
bagai halilintar berkilat tanpa suara,
seolah gemuruhnya redam terpendam,
terbuai harum aroma rambutmu,
yang terurai membelai sukmaku.
Siapa juga yang mau seperti ini,
pikiran yang dulu bebas dari batas,
kini harus tersekat indah bayangmu,
mengosongkan segala isi di sanubari,
menjadikan kehampaan kukuh berkuasa,
di antara rumpun-rumpun harapan,
yang menjulang menantang pelangi,
untuk mengadu kecerahan warnamu,
yang terbatik pada kisi-kisi jiwaku.
Siapa juga yang suka seperti ini,
angan yang dulu tak pernah terbang,
kini melambung meyeruak ke langit,
bagai layang-layang tak bertemali,
lepas ke atas membawa mata belati,
menusuk lapisan kodrat yang melentur,
hingga terbedah jahitan di wajah awan,
menjatuhkan tetes hujan kesyahduan,
menyirami benih-benih kasih untukmu.
AROMA HUJAN
Aroma hujan itu datang lagi,
memekarkan jiwaku,
asal tahu saja ,
aku begitu merindukannya,
karena dialah peradabanku,
yang mengijinkan batinku tertawa.
Sekawanan burung yang berbaris indah,
tak jua hendak mengepungku,
datanglah sahabat-sahabatku,
hitamkan aku dengan warnamu,
hilangkan silsilah yang membelengguku,
dan ajari aku melarikan diri.
Pada sebuah titik di mana aku meletih,
kukagumi daun-daun yang jatuh,
karena dia amatlah jantan,
menantang kepongahan badai,
lalu berteriak dengan lantang,
“Telah kuselaraskan kehidupan” .
Demikianlah adanya,
aroma hujan itu akhirnya pergi juga,
menyisakan kedamaian,
tetapi bukanlah berakhirnya usahaku,
untuk menjemputnya di ujung cakrawala,
pada saatnya nanti.
APA KHABAR NURANI??
Apa kabar nurani?
lama kita tak bersua,
aku telah lupa tentangmu,
Ke mana saja selama ini?
Dulu kau adalah sahabatku,
guruku,
penasehatku,
tapi karena kesibukanku,
keangkuhanku,
kelemahanku,
kau kuabaikan begitu saja.
Setelah aku bosan denganmu,
banyak yang menggantikanmu,
kumanjakan mataku,
mulutku,
lidahku,
telingaku,
kuserap semua nikmat dunia,
kunikmati,
kuperjuangkan mati-matian,
hingga akhirnya aku lelah,
terpuruk dalam sesal.
Apa kabar nurani?
kali ini ingin kujalin lagi,
bemesra denganmu,
seperti dulu,
mengulang masa indah,
kudengar kau,
kusambut kau,
kuikuti perintahmu,
karena aku tahu,
kau selalu benar,
selalu meneteramkanku.
Bukalah mataku,
setelah kebutaanku,
terangi jalanku,
setelah kegelapan,
ajari aku lagi,
tentang cinta kasih,
tuntun langkahku,
menapaki jalan licin,
yang menggelincirkan,
agar tak pernah kuulang,
terperosok pada lubang yang sama.
ANDAI DIAMKU BISA BICARA
Karena bulan enggan bercerita,
Patutkah bintang mewakilinya?
Sedang kunang-kunang yang beterbangan,
redup sinarnya terselubung kegalauan,
mendalam.
Jika rasa ini tak pernah menjadi suara,
biarlah getaran hati tumpah meluap,
walau tak bisa ditafsirkan oleh mendung,
tetapi sebuah rahasia tetap akan terungkap,
suatu saat.
Karena mentari terlalu banyak tugas,
pantaskah lautan jadi tempat mengadu?
Sedang kata-kata tetap menjadi kata-kata,
tak harus terucap dalam sebuah kalimat,
tanpa cacat.
Andai diamku bisa bicara,
dia akan menyampaikan kepada dunia,
dia akan bernyanyi bagai seorang diva,
nyanyian tentang pelangi di dalam kepala,
penuh warna.
AKU TAK PUNYA TANDA KOMA
Aku tak punya tanda koma,
untuk menghentikan rasaku,
bagai kecepatan kilat cahaya,
dia melaju bebas tiada tali kendali.
Entah apa penyebabnya,
gravitasimu begitu kuat,
menarikku hingga terjerembab,
ke dalam pelukmu yang begitu hangat.
Ke mana kan kucari tanda koma,
untuk kuletakkan di ujung hatiku,
agar arus pesonamu tak menyeretku,
ke ladang rindu yang terhampar lebar.
Mantra apa yang telah kau baca,
begitu telak menembus dadaku,
membuatku menyerah tanpa syarat,
tunduk terikat pada keanggunanmu.
Sungguh, tiada pernah kuduga.
Sungguh, kau telah menaklukkanku,
Sungguh, kukagumi keindahanmu.
Sungguh, aku tak punya tanda koma.
AKU INGIN MENCIUMMU SETIAP HARI
Ibu,
boleh kan aku merayu?
aku ingin berbaring di pangkuanmu,
mengadu tentang hari-hari lelahku,
tentang keras dunia,
yang tak seteduh kasihmu,
dan ingin kupertanyakan,
mengapa di luar sana,
tak pernah kutemukan keikhlasan,
seperti keikhlasanmu padaku.
Ibu,
Belailah rambutku,
pijatlah lenganku,
usaplah dahiku,
aku ingin membasahi pangkuanmu,
dengan air mataku,
dengan keringat dinginku,
dan ninabobokan aku,
bacakan kisah-kisah tentang indahnya surga,
hingga aku terlelap.
Ibu,
Ibuku sayang,
acap kali kulihat,
orang-orang hanya sempat mencium ibunya,
sekali saja,
saat jasad ibunya hendak dikebumikan,
sungguh,
aku tak ingin seperti itu,
maka ijinkan aku,
untuk menciummu setiap hari.
AKU INGIN MATI SERIBU KALI
Aku ingin menjadi bintang,
karna dia selalu damai dalam terang,
tak pernah angkuh walau dipuji,
tak pernah sedih walau tertutup awan.
Aku ingin menjadi gunung,
karna dia selalu perkasa,
bagai bima dengan gadanya,
menebar keteduhan di jagad raya.
Aku ingin menjadi sungai,
mengalir jernih membawa harapan,
beriak kecil terbawa hingga ke muara,
takkan berubah walau ditempa masa.
Aku ingin menjadi rumput,
luas menghijau menyejukkan jiwa,
walau tercabut takkan binasa,
walau terinjak takkan teriak.
Aku ingin menjadi kabut,
menghangatkan manusia bagai selimut,
mewarnai alam di setiap sudut,
datang dan pergi tanpa melukai.
Aku ingin selalu bermimpi,
membawa angan melintasi bumi,
andai hanya terwujud setelah mati,
aku ingin mati seribu kali.
AJARI AKU MEMBENCIMU
Ajari aku membenci,
pada semua rasa benciku,
sebab takkan ada keindahan,
kala masih ada kebencian di hati.
Ajari aku mencela,
pada segumpal kesombonganku,
karena aku tak dapat melihat,
betapa lemahnya diri ini.
Ajari aku menertawakan,
pada diriku yang amat lucu,
bagai badut berbalut bantal,
menjadi tabir kemunafikan,
Ajari aku menghina,
pada diriku yang amat hina,
karena di hadapan keagunganNya,
tak mungkin kubusungkan dada.
Ajari aku mmerendahkan,
pada diriku yang amat rendah,
walau anganku melayang tinggi,
kelak juga akan menjadi tanah.
Ajari aku,
tentang hidup dan kehidupan,
agar aku menjadi hambaNya,
bukan hanya patung berjalan.
AKU DAN KETIADAANKU
Di mana aku,
ketika berada di sisimu,
seakan lenyap tak berpuing,
sirna tak berjejak.
Aku hilang,
menyublim berganti raga,
hingga tak kukenali diriku,
saat kugenggam erat jemarimu,
Aku adalah ketiadaan,
yang ada hanyalah cinta,
jelmaan selangit rindu,
yang bisa kau rasa hadirnya.
Atas nama ketiadaanku,
atas dasar kerinduanku,
atas unjuk perasaanku,
kasihi aku sepanjang hidupmu.
AKU PERNAH MENJADI BINTANG DILANGIT
Aku pernah menjadi bintang di langit,
yang berkedip di keluasan gurun cahaya,
mencoba menarik sepenggal perhatian,
tapi hanya kau pandang dari sudut matamu,
dan ketika semilir angin terkembang sayapnya,
sejuk senyummu pun terurai menjadi badai,
yang meruntuhkan kedipan bintang itu,
terjatuhlah aku mengerang dalam kedukaan.
Aku pernah menjadi batu karang,
yang tak pernah goyah mempertahankan rasa,
sedikit bergeming bukanlah sifat yang kumaklumi,
tapi di matamu seakan aku tak pernah berdiri,
seperti batang pepaya yang telah lelah berbuah,
terhuyung tanpa kasihmu yang menyangga,
dan rapuhlah aku dalam kesendirian ini.
Aku sering menjadi bukan diriku,
tak jarang harus melupakan segudang ingatan,
bersolek menutup ribuan belang di wajahku,
agar aku menjadi seperti yang kau inginkan,
agar aku menjadi dewa yang menaungi hidupmu,
walau harus kuabaikan arti sebuah jati diri,
yang kuwarisi sejak sebelum kau dilahirkan.
BIARKAN AKU JADI MINORITAS
Biarkan aku jadi minoritas,
tak ingin mengikuti mereka,
karena inilah jalanku,
yang ingin kutempuh,
hingga ajal menjemputku.
Biarkan aku jadi minoritas,
tak takut sendiri dalam sepi,
tak sedih digunjing seribu mulut,
karena inilah pilihanku,
yang kugigit gigi gerahamku.
Biarkan aku jadi minoritas,
yang menolak undangan pestamu,
mengabaikan tawaran manismu,
menikmati indahnya dunia,
yang sekejap tapi berakhir duka.
Bukankah kau tahu?
para penghuni surga itu,
adalah sedikit di antara manusia,
tak inginkah kau,
menjadi yang minoritas itu?
Biarkan aku jadi minoritas,
yang mungkin sulit kau mengerti,
karena ketakutanku hanya sederhana,
tak ingin dihina penduduk langit,
dihina pula penduduk bumi.
Sang Pencari tengah sendiri,
menulis puisi jelmaan kata hati,
merangkai kata mencari makna,
bermain pena membatik aksara.
Sang Pencari tengah bernyanyi,
memetik gitar di awal pagi ,
menggesek biola di ujung senja,
mengusung cerita melalui nada.
Sang Pencari tengah bertapa,
berpejam mata menutup rasa,
menahan lapar sepanjang hari,
tanpa satupun teman berbagi.
Sang Pencari tengah berkelana,
berkendara kuda tanpa pelana,
mendaki gunung puncak tertinggi,
menerjang ombak laut tak bertepi
Sang Pencari tengah berdoa,
memohon ampun segala dosa,
atas nama Tuhan dia berjanji,
tak ada kesalahan akan terulangi.
Wahai para pencari,
sudilah engkau datang kemari,
kabari aku semua pengalamanmu,
sesungguhnya aku sama sepertimu.
DO'A SANG PENCARI
Tuhan,
selembar daun yang jatuh,
Engkau tahu dengan pasti,
maka tak pernah kuragukan,
Engkau tahu pasti pula,
selembar hati dan jiwaku,
yang lusuh,
penuh coretan-coretan,
dan gambar-gambar tak beraturan.
Tolong aku Tuhan,
menghapus semua,
karena betapa sulitnya,
jika kulakukan sendirian,
tanpa melibatkanMu.
Tuhan,
apalah arti daya dan upayaku,
ketika Engkau tak berkehendak,
karena aku tahu,
tak ada yang bisa menolak,
jika Engkau berkehendak,
dan tak ada yang bisa menerima,
jika Engkau tak berkehendak.
Aku tak ingin sendiri,
menapaki sisa-sisa hidupku,
sertai aku Tuhan,
temani aku,
aku tak sanggup sendiri,
meniti hari-hari yang sepi.
Tuhan,
andai pucuk pinus bisa kududuki,
aku ingin selalu ada di sana,
menyepi,
di tempat tertinggi,
agar aku dekat denganMu,
selalu memujaMu,
menjilat manisnya kasihMu,
menghisap bahagia sejati.
jauh dari goda dunia,
yang hanya menipu,
semu,
penuh kepalsuan.
Maka jagalah aku, Tuhan.
SAJAK-SAJAKMU SEJUKAN JIWAKU
Dulu kau adalah angin lalu,
berat mata ini untuk melihatmu,
tapi apakah telah berubah saraf mataku?
ketika kini tiada bosan aku memandangmu.
Dulu kau kembang yang selalu kuncup,
kusayangkan tanganku menyentuhnya,
tapi saat ini seperti kau sihir aku,
ketika kembang itu mekar indah berseri.
Maafkan atas keangkuhanku,
mungkin terpaksa menjilat ludah sendiri,
dan semua ini begitu saja terjadi,
sejak sajak-sajakmu sejukkan jiwaku.
WALAU TAK SEINDAH MATAMU
Walau tak indah di matamu,
itulah caraku menyayangimu,
hingga kelak kau akan tahu,
betapa besar cinta di hatiku.
Walau membuatmu sakit,
itulah caraku agar kau bangkit,
karena aku inginkan yang terbaik,
bagimu sang penghuni lubuk hati.
Lihatlah awan putih di sana,
menghias angkasa dengan ketulusannya,
meski tak ada ucapan terima kasih,
dia akan selalu membiaskan sinar kasih.
Suatu hari nanti,
kau akan membenarkanku,
dan semua yang anggap kejam,
adalah keindahan yang terpendam.
WALAU HANYA DALAM MIMPI
Walau hanya dalam mimpi,
aku benar-benar menikmatinya,
berada di istana tanpa penjaga bersenjata,
tak ada kekhawatiran akan celaka.
Walau hanya dalam mimpi,
aku telah berada di sana,
bercengkrama dengan bunda theresa,
berguru cara mencintai kaum kelas tiga.
Walau hanya dalam mimpi,
aku jadi semakin mengerti,
ketika bunda Rabiah Al-Adawiyah,
mengajariku mabuk cinta kepadaNya.
Walau hanya dalam mimpi,
biarkan aku mencoba,
menjadi seperti para pencinta sejati,
yang tak berpamrih begelimang harta.
Walau hanya dalam mimpi,
aku tak ingin terbangun lagi,
karena ketika kubuka mata,
kujumpai lagi dunia penuh kemunafikan.
UNTUK SEORANG KAWAN
Aku tahu yang kau inginkan,
saat sinar matamu mengisyaratkan kesenduan.
Kerinduanmu akan kemesraan yang kau impikan,
sepertinya makin jauh dari genggamanmu
Aku tahu kau mampu memecahkan selubung hitammu
Tapi bukan itu yang kau dambakan
Kau dirindukan oleh apa yang selalu melekat di hatimu
Tapi kau bertahan, berdiri di sini dengan tegarmu
Kawan, jangan kau halangi kekagumanku padamu
Tunjukkan pada semua tentang harapan-harapan indahmu
Menangislah, menangislah untuk sekelompok bangau yang terbang
Ikutlah, menarilah di ketinggian langit bersisik awan
Kawan, beri aku alasan untuk selalu berguru padamu
Kalau derita bagimu adalah sebuah manisan,
kalau kelelahan bagimu adalah sebuah hiburan,
maka, jangan pernah berhenti menjadi pengasuhku
UNTUK IBU
Ibu, wajah berserimu itu sekarang kulihat tua.
Tubuh tegarmu itu sekarang mulai melemah.
Sinar mata yang tajam saat memarahiku dulu,
kini tak pernah lagi kulihat.
Ibu, Aku rindu marahmu
Cubit lenganku lagi sampai berwarna merah
Merahkan juga telingaku dengan kritik tajammu
Lakukan saja apapun yang kau mau padaku
Kau injak kepalakupun kan kuserahkan dengan tersenyum
Ibu, aku bukanlah siapa-siapa di depanmu.
Yang dulu tak pernah bisa ke mana-mana,
tanpa meringkuk di gendonganmu.
Sekarang masih seperti dulu, Bu.
Aku hanya seonggok daging kecil,
yang tak pernah bisa bernafas tanpa kasihmu
Ibu, sudah berapa kali aku melukaimu?
Pasti sudah hilang kan catatanmu?
Sedangkan aku masih memiliki catatan-catatan bodohku,
yang merasa telah kau kecewakan.
Ibu, Dapat kuhitung dengan jari tanganku,
berapa kali aku membuatmu tersenyum,
berapa lembar kain yang pernah kubeli untukmu
Tak banyak kan?
Tapi kenapa kau tak pernah meminta?
Ibu, aku takut kau tinggalkan aku,
karna aku memang tak pernah siap kau tinggalkan.
Aku sangat membutuhkan teguranmu
Aku ingin melihatmu setiap pagi
TETAP MELANGKAH
Tetap melangkah,
setapak demi setapak,
tak ingin berpaling lagi,
pada masa lalu yang tertinggal.
Jalan di depan masihlah panjang,
indah berliku dirimbuni pepohonan,
bagai pion kecil di papan catur,
sekali maju pantanglah kembali.
Hari ini bukanlah kemarin,
bukan pula hari esok,
kalau diam dan terpaku,
roda jaman akan menggilas.
Tujuan itu masih jauh,
di ufuk barat daya tampak membiru,
tapi jarak bukanklah halangan,
panas dingin bukanlah beban.
Tetap melangkah,
di jalan yang makin lapang,
sesekali rehat di tepi,
menikmati sinar mentari.
TERATAI PUTIH
Sekuntum bunga Teratai di hati,
warnanya pucat pasih,
tetapi masih bersinar kemilau.
Takkan pernah layu walau panas menerpa,
takan pernah hanyut walau diterjang badai.
Ketika malam mata tak dapat terpejam,
hina dina di mata kan sirna seketika,
lantaran Terataiku ada bersama.
Bukan nyali yang tersembunyi,
hanyalah seberkas tawa yang terbalut nestapa.
Mayapada ini selalu berdiri,
akan sebuah persaksian suci.
Sembari cakrawala mengatur langkahnya,
aku bertapa di kesunyian,
ditemani keindahan dan kemurnian,
Sang Teratai abadi.
TEMANI TEMANKU
Temani temanku,
dia membutuhkanmu,
bagai burung membutuhkan sayap.
Dia menunggumu,
bagai kemarau menunggu hujan.
Dia menyayangimu,
bagai Bisma menyayangi Pandawa.
Dia merindukanmu,
bagai pungguk merindukan bulan.
Tidakkah kau tahu,
kami sama-sama lelaki,
telah lama seiring di jalan terjal,
memikul beban bahu membahu,
mengayuh sampan meniti hidup.
Jika dia menangis,
tumpah pula sebejana air mataku.
Jika dia tersakiti,
tercabik pula rasa dalam jiwaku.
Tamani temanku,
walau aku tahu pasti,
kau dan aku ingin saling menemani,
tetapi biarlah begitu,
dia lebih pantas mereguk bahagia,
tak usah kau risaukan aku,
kekecewaan bukanlah hal baru bagiku,
dan demi kasih kita yang indah,
sayangi dia seputih kasihmu padaku.
TANDA MATA
Lancangkah aku mengartikan?
Terlalu dinikah aku menyimpulkan?
ketika kulihat tanda-tanda di matamu,
dan isyarat-isyarat di senyummu,
serta segala lembut tutur katamu.
Pantaskah aku yang menunggu?
Layakkah aku yang dirayu?
sedang kau tahu dengan pasti,
aku tetap akan diam membisu,
ketika kau berdiri tepat di depanku.
Jatuhkan vonis padaku sesukamu,
jika kau rasa itu bisa mengubahku,
tapi aku tahu pasti siapa diriku,
yang tak akan pernah bisa mengartikan,
tentang tanda-tanda di matamu.
TANAH INI
Tanah ini,
pernah dipertahankan dengan ujung belati,
oleh orang-orang pemberani,
yang tak mau bangsanya diperlakukan keji..
Tanah ini,
menjadi saksi abadi,
tentang cita-cita suci,
dari para pemilik hati nurani.
Tanah ini,
dijaga Bung Karno hingga ke bui,
dicinta Bung Hatta sampi mati,
ditukar nyawa Walter Monginsidi.
Tanah ini,
jangan hargai sebatas investasi,
jangan pernah dibagi-bagi,
kepada orang serakah penjual negeri.
Tanah ini,
tempatnya Gus Dur mengaji,
tempatnya Rendra berpuisi,
mereka tak rela tanah ini dikotori.
Tanah ini,
bukan milik kaum berdasi,
bukan ajang berebut uang korupsi,
bukan pula arena judi.
Tanah ini,
saksi bisu reformasi mati suri,
hingga saatnya nanti,
keadilan bukan hanya sebuah ilusi.
TAK ADA YANG ISTIMEWA
Tak ada yang istimewa,
semua terjadi begitu saja,
saat angan kita berbicara,
tentang sebuah cerita.
Aku tetap bersahaja,
hanya diam seribu bahasa,
kala lentik matamu berkata,
ada sesuatu yang tak biasa.
Biarlah kita permainkan rasa,
agar kau cepat jadi dewasa,
karena kau masih terlalu belia,
untuk mengerti sebuah makna.
Jika telah usai kau baca,
tulisanku yang tak seberapa,
mungkin kau bisa menerka,
di balik semua canda tawa.
Tak ada yang istimewa,
yang terjadi di antara kita,
janganlah kau mengada-ada,
dari pada berakhir kecewa.
TABIR JIWA
Terpekur di gerbang harapan.
Ketika impian telah kulipat rapi,
di almari berpintu besi,
yang anak kuncinya telah kupatahkan,
kubuang,
hanyut,
jauh,
di telan laut Jawa.
Awan putih telah meninggalkan bulan.
Bergegas mengejar layang-layang,
yang terkoyak di bagian atasnya,
terpelanting,
tergores,
terantuk sebongkah batu meteor.
Jaman telah pudar,
masa telah berganti,
benalu-benalu terkulai di dahan kering.
Mengisyaratkan kesenduan jiwa yang retak,
menjerit,
mengaduh,
merintih tanpa tahu apa sebabnya.
Ilmuku tak pernah menjangkau,
sebuah tabir yang tersibak.
Akalku tak pernah menyentuh,
keniscayaan yang tergambar jelas,
di depan mata,
di ambang hati,
di seluruh helaan nafasku.
SUNYI
Ingin bertanya,
tapi pada siapa,
sedang semua membisu,
tak ada yang mau tahu.
Sepi selalu menyambut,
hanya sebatang rokok tersulut,
dan cicak yang berebut nyamuk,
menemani indahnya kesendirian.
Mimpi-mimpi yang tersusun rapi,
semua telah kembali berserakan.
Bunga-bunga yang bermekaran,
biarlah kuncup seperti sedia kala.
Hanya bisa berharap,
kembalinya sesuatu yang telah pergi,
walau lama akan dinanti,
walau jauh akan dicari.
Kenapa ada rasa takut,
ketika tahu semua adalah fana.
Kenapa mencari bahagia,
sedangkan semua ada di depan mata.
SUMPAH MURAH
Ketika sumpah kau anggap begitu murah,
walau tak seorangpun memberi perintah,
sehari semalam kau ucap melimpah ruah,
karena jujur dan tidak bukanlah masalah,
Sebenarnya siapa yang ingin kau yakinkan,
sedang sejatinya kau sedang ditertawakan,
karena sumpahmu bukan wakil kebenaran
hanyalah penghias bibir penuh gurauan.
Jika kebenaran seiring dengan tutur kata,
tanpa memaksapun kau akan dipercaya,
dan berkacalah pada manusia bijaksana,
yang jujur bersumpah setelah dia diminta
SUDAH TERBUKTI
Wajah tampanmu, paras cantikmu, badan kekarmu, indah kulitmu, kilau rambutmu, usia mudamu, apakah telah memberi nilai lebih bagimu? Kau akan menjawab itu adalah kelebihanmu, padahal kau tahu itu bukan prestasi yang kau usahakan sendiri. Sebelum lahir tak ada yang bisa memesan bentuk badanmu. Kau terima begitu saja apa adanya. Untuk apa semua itu dibangga-banggakan jika hanya jadi penghalang cahayaNya?
Setiap saat kau bercermin, seolah-olah takut hilang kecantikanmu, ketampananmu. Padahal dari kemarin masih tetap seperti itu. Dan siang malam kau sering disibukkan hanya untuk merawat badan.
Ingatlah, semua itu akan rusak jika telah sampai waktunya.
Kau keluarkan biaya berjuta-juta hanya takut ada satu jerawat yang hinggap, sedangkan sedikit membantu yang kekurangan, kau enggan melakukannya.
Kau begitu ketakutan kala garis keriput telah tergambar samar-samar. Krim anti aging benarkah bisa menunda ketuaan kulitmu?
Kala yang lain berbusana tertutup rapat, kau bilang itu menghilangkan pamor. Benarkah?
Apakah keindahan fisikmu untuk dipamerkan? Atau untuk diperlombakan?
Sudahlah kawan, sudah banyak terbukti, banyak contoh, keindahan fisik telah menghalangi cahayaNya menembus hati, bahkan menjerumuskan pada kehancuran dunia dan akhirat. Lihat para pesohor rupawan yang tengah dilanda masalah karena tak mampu mensyukuri kerupawanannya. Benar, ini sudah terbukti.
Baginda Yusuf AS, Bunda Aisyah ”Sang Humaira”, patutlah kau contoh kemuliannya, walau dianugerahi keindahan fisik jauh melebihi yang kau punya.
SETELAH YANG SATU INI
Setelah yang satu ini,
masih bisakah kau pungkiri,
apa yang kau lakukan di kamar terkunci,
yang kau kira tempat aman tersembunyi,
dan tak ada satupun yang bisa jadi bukti.
Jika Dia menghendaki,
pengadilanNya dilaksanakan juga di bumi,
saksinya kamera yang benda mati,
jaksanya para penjaga hati nurani,
dan jutaan manusialah yang menghakimi.
Setelah yang satu ini,
kelak akan kau hadapi pengadilan lagi,
tiada guna kau sampaikan seribu pledoi,
karena Hakimnya tak mau berkompromi,
dan saksinyapun anggota badanmu sendiri.
SEROJA
Perlukah aku meminta maaf pada sang malam,
karena acap kali kuusir dia dari hadapanku,
agar segera kulihat jendela pagi yang indah,
agar segera kujumpai sapa sambutnya,
dan kutatap lagi matanya yang seperti bintang.
Dahulu kala pernah kurasakan rasa seperti ini,
entah kapan dan di mana aku mengalaminya,
kini kau ingatkan aku cara membuka hati,
bagai lelap tertidur dan terbuai dalam mimpi,
kau membawaku terbang dengan sayap putihmu.
Wahai dara,
andai aku pujangga pastilah aku telah memuja,
mengibaratkanmu bagai bunga seroja,
merayumu dengan untaian puisi dan prosa,
tapi kata-kata yang kurangkai selalu tanpa makna.
Jika saat ini ingin kuusir malam sekali lagi,
semata-mata bukan karena aku membencinya,
tapi semua kulakukan untukmu,
lantaran tiba-tiba kurasakan rindu,
padamu.
SEMOGA BAHAGIA
Semoga aku berbahagia,
karena aku mencintai diriku,
dan sampai pada detik ini,
aku masih tetap berjaya.
Semoga ibuku berbahagia,
karena tanpa kasih sayangnya,
aku takkan pernah ada,
dan tak pernah kulihat terang dunia.
Semoga keluargaku berbahagia,
karena aku besar di antara mereka,
memberiku pengalaman berharga,
mengajariku tentang mencinta,
Semoga teman-temanku berbahagia,
karena aku hidup di antara mereka,
menjalani hari saling berbagi,
seiring sebaris di perjalanan.
Semoga seluruh manusia berbahagia,
karena aku bagian keluarga besar dunia,
dan seandainya semua umat berbahagia,
terciptalah kedamaian yang sebenarnya.
Baik yang benyawa maupun tidak,
baik di bumi maupun di luar bumi,
baik yang terlihat maupun tak terlihat,
semoga setiap mahluk berbahagia.
SELAMAT MALAM,,PAGI
Pagi yang membias di pedalaman hati,
menerangiku untuk menelusuri jejakmu,
di antara selaksa puing reruntuhan rasa,
kucoba menyusun piramida kenangan.
Pagi yang pernah mengantarkan kita,
meniti jalan indah di tengah taman bunga,
meyaksikan kuncup-kuncup bermekaran,
menebarkan wangi di seluruh maya pada.
Pagi yang kini menaungi kita,
tak lagi bisa kita nikmati bersama,
tapi dia tetap menjadi saksi abadi,
tentang perjalanan dua anak manusia.
Pagi yang telah beganti senja temaram,
menyisakan kehangatan tak tergantikan,
dan esok pasti kan kujelang sinarnya lagi,
kini kuucap selamat malam pada sang pagi.
SEKILAS KHILAF
Jangankan engkau,
aku sendiri tak mengerti,
tentang untaian kealpaan,
yang kerap kali terjadi,
menjangkitiku bagai sindroma,
akut tak tersembuhkan.
Lelahkah engkau,
untuk selalu mengerti aku,
tanpa menuntut dimengerti,
hingga sebuah kalimat,
saling pengertian,
menjadi tiada arti,
Sanggupkah engkau,
menobatkan kesabaranmu,
menjadi panglima,
yang tegar berdiri,
di garis depan hatimu,
untuk menghalau segala amarah.
Aku tahu engkau,
dengan mata indahmu,
memandang tulus kasihku,
memaklumi kemanusiaanku,
tanpa sedikitpun melihat,
sekilas khilaf-khilafku.
SEBELUM AKU TERLELAP
Sesaat,
sebelum aku terlelap,
ada yang menyelinap,
di sela-sela gelisahku.
Menunda mimpiku,
menahan kantukku,
mengusik anganku,
menuntun pikiranku,
hingga jauh,
menembus pagar hati,
lepas tanpa kendali.
Malam ini,
seperti sebelumnya.
masih tetap sama,
tak ada yang berubah.
Binatang malam bernyanyi,
semilir angin menemani,
sinar bintang bersembunyi,
bulan tertunduk,
tanda tak senang,
karena aku tak riang.
Siang tadi,
satu-satu kuingat,
apa yang kuperbuat,
mungkin tak disuka.
Bukan ingin sengaja,
hanya kelemahanku saja,
yang tak pernah bisa,
menyejukkan suasana,
memenuhi semua keinginan,
yang digantungkan padaku.
Sesaat,
sebelum aku tertidur,
sebelum aku mendengkur,
hanya ingin mengucap salam,
menyampaikan maafku,
pada setiap mahluk,
tentang kealpaanku,
yang selalu terulang,
dan tak bisa kuubah,
walau aku ingin berubah
SATU-SATU PERGI
Satu-satu pergi,
mohon diri di batas sepi,
meninggalkan sederet luka,
sakitnya tiada dapat tergambar.
Satu-satu pergi,
terpisah di ujung pagi,
tercerai di batas senja merah,
mengiris, menyilet, membekaskan garis duka.
Tanah ini telah kau pijak sejak lama,
air sumur ini telah kau teguk sejak dulu kala.
jejak-jejak tapak kakimu belum lagi tersapu,
janjimu padakupun belum tuntas kau tunaikan.
Pulang, pulanglah,
selaksa tugas menatimu,
jangan berdiri termenung,
jangan tangisi kesendirianmu.
Satu-satu pergi,
biarlah begitu,
masa kan selalu berganti,
akan bertiup angin yang baru.
RAYUANKU PADA BINTANG
Bintang,
sekali lagi aku merayumu,
masihkah kau acuhkan aku?
sampai detik ini inginku masih sama,
mengharap kau datang ke sini,
dan membawaku pulang ke angkasa.
Tak pantaskah aku jadi penghias?
berjajar bersamamu di sana,
menjadi serpihan galaksi Bima Sakti,
menyejukkan hati penghuni bumi,
menghibur keresahan jiwa-jiwa terluka.
Bintang,
coba lihat ke mari,
tatap mataku,
adakah aku berdusta?
sedang kau tahu sejak aku dilahirkan,
tak pernah selingkuh dari pesonamu.
Jika kau turunkan tangga untukku,
aku akan memanjatnya seketika,
jika kau lemparkan tali ke sini,
aku rela terlilit bergelantungan,
agar bisa mendekati singgasanamu,
dan merasakan hangatnya sapamu.
Bintang,
sebetulnya siapa yang salah?
aku ataukah engkau?
mengapa kau biarkan aku patah hati?
sedang kau tahu aku tak pernah merasakan,
sakitnya patah hati di sini.
Bintang,
Aku takkan pernah bosan merayu,
tak pernah berhenti memujimu,
tak pernah jemu mengadu padamu,
hingga kau benar-benar terbuai,
dengan manisnya bujuk rayuku.
PUTERI
Menjelang purnama datang,
benang-benang kusut telah kuluruskan,
kupintal menjadi sehelai syal,
yang kulilitkan di leher jenjangmu.
Padi di sawah mulai merunduk,
rumput-rumput basah telah disingkirkan,
aroma tanah mengisyaratkan mekarnya asa,
membakar segala gundah di hatimu.
Dayang-dayang berderet menanti titah,
dari sebuah fatwa agung.
Lilin-lilin merah telah dinyalakan,
menerangi setiap jengkal tanah di depanmu.
Puteri, naiklah ke kereta itu,
yang akan membawamu ke singgasana hatiku.
Senyumlah untuk sebuah kemenangan,
yang kau usahakan sejak kau mengenal dunia
PUJA-PUJAKU
Aku memuja bunga,
karena dia tak pernah tergantikan,
harum sendiri tanpa pewangi,
indah merona tanpa diwarnai,
mekar berseri penyejuk hati.
Aku memuja awan,
menjadi lukisan di langit biru,
diterjang angin tiada bergeming,
jatuh ke bumi disambut senyum,
turun hujan membentuk harapan,
Aku memuja angin,
ke sana ke mari sesuka hati,
menerpa daun jadi menari,
menerjang laut menjadi ombak,
mendorong perahu menebar layar.
Aku memuja bulan,
bersinar redup menghias malam,
menerangi bumi di kala gelap,
menjadi inspirasi para pujangga,
terselip rapi di dalam sajak.
Aku memuja bunga,
aku memuja awan,
aku memuja angin,
aku memuja bulan,
dan segala pujaku bagi penciptanya.
JANGAN BANGUNKAN AKU
Jangan bangunkan aku,Image
kumohon,
mimpi ini terlalu indah untuk kutinggalkan.
Alam nyata terlalu menyesakkan untuk kupandangi
Jangan bangunkan aku,
dewa-dewi tengah menebarkan salam padaku,
sinar matanya seteduh mata ibuku,
sapa hangatnya selalu memanusiakan aku.
Jika bisa kupilih,
aku ingin terlahir kembali di sini,
bermain dengan bocah-bocah telanjang kaki,
rebah di rumput berselimut jerami.
Ini dunia buta dengan kasta,
tanpa raja, tanpa pula perdana menteri,
burung-burung kecilpun siap mengadili,
pada siapapun yang ingkar nurani.
Jangan bangunkan aku,
walau matahari telah meninggi,
karena aku selalu takut,
menjadi penghuni peradaban mati.
MENANGISLAH BUNDA
Bunda,Bunda
aku memang tak melihat,
hari di mana kau dilahirkan,
tetapi aku yakin,
hari itu pastilah hari yang indah,
langit memerah jambu,
awan berdesakan hendak turun,
mentari mengerlingkan mata,
sorepun tak ingin beranjak menjadi malam,
karena gembiranya dunia,
menyambut kehadiran wanita mulia.
Bunda,
aku memang tak melihat,
hari di mana aku dilahirkan,
hari yang kau senyumi,
hari yang kutangisi,
hari yang tak pernah kunanti,
karena ketakutanku yang amat sangat,
tentang sebuah balas budi,
dan janji-janji bakti,
yang tak mungkin kupenuhi,
untuk mewujudkan harapanmu.
Bunda,
aku masih bisa melihat senyummu,
kurang lebih,
hampir sama seperti senyummu dulu,
ketika kau melahirkanku,
tetapi ijinkan aku bertanya,
bukankah bulan tak selamanya purnama?
dan embun pagi akan diteguk binatang melata,
akupun telah tak telanjang lagi,
karena berbaju tebal keangkuhan,
maka seyogyanya,
menangislah bunda.
AKULAH RAJA ALENGKA
Aku memaknaimu bunga yang terjaga,
oleh ksatria perkasa mempesona,
Sang Rama Wijaya.
Tapi tercelakah aku memimpikanmu?
bukan untuk menyentuh paras bidadarimu,
bukan pula memelukmu di malam syahdu.
Aku tak ingin menghitamkan cinta putihmu,
aku hanya menunggu sesaat khilafmu.
Tahukah kau bunga?
telah kupelangikan rambut ikalmu,
hingga berhelai-helai warnanya,
menyeruak dalam-dalam di sukmaku,
menghujam rimbun di hati bagai serumpun bambu.
Karena kau adalah permata berbias sinar surga,
siapa yang tak tergoda memilikinya,
walau harus kucuri bertaruh nyawa.
Jika sudi melihatku,
jangan lihat dengan mata lentikmu,
karena hanya akan kau dapati sang durjana,
raksasa penebar prahara,
tapi lihatlah aku dengan rasamu,
dan akan kau temukan Rahwana dengan cintanya,
Karena bagaimanapun juga,
akulah raja Alengka,
yang hendak membahagiakanmu dalam istana kasihku.
INGIN KUSAJAKAN SENYUMMU
Ibu,
ingin kusajakkan senyummu,
seraya kupilih dan kupilah ribuan kata,
tetapi tak jua bisa kurangkai kalimat,
yang paling senonoh untukmu.
Biarlah puisi untukmu tetap kupingit di hati,
jika berkenan,
baca saja rangkaian prosa pada raut wajahku,
karena aku tak pernah memakai cadar dihadapanmu,
tangisku adalah tangisku dan tawaku adalah tawaku.
Aku mengenal kasihmu dengan sendiriku,
tanpa ada yang mengajari,
tanpa pula referensi,
dan karenamu juga aku bisa mengenal rindu,
yang kuyakini hingga riwayatku ditelan bumi.
Ibu,
aku tahu kita mencintai kesahajaan,
kita membenci kemunafikan,
maka untuk apa kututup rapat aurat tabiatku,
jika hanya untuk menyenangkanmu.
PUISI RINDU
Pernahkah kau melihat,
pelangi yang menjuntai,
warnanya merah jambu,
diseling ungu kebiruan.
Indah,
bagai tiara putri istana kahyangan,
siapapun yang melihatnya,
niscaya ingin menyentuhnya.
dan setelah dia hilang,
kau akan merindukan selamanya.
Pernahkah kau mendengar,
tiupan seruling di tengah malam,
bersama semilir angin menerpa,
menemani embun di keheningan,
Merdu,
bagai siulan malaikat kecil,
lirih menggetarkan sukma,
mengusik jiwa yang terjaga,
dan setelah suara itu lenyap,
kau akan merindukan selamanya.
Pernahkah kau rasakan,
saat hati tengah merindu,
akan sesuatu yang tak kau tahu,
tentang apa dan siapa yang kau rindu.
Bersyukurlah,
di hatimu masih ada rindu,
setidaknya untuk saat ini,
hatimu belumlah beku,
dan jagalah rasa rindu itu,
kepada Sang Pemberi Rindu.
PUISI MINIMALIS
Kulacurkan sastra,
di semak-semak kemunafikan,
gelap bertudung narsisme,
memperdaya logika naif,
mengurai syahwat terselubung,
Adakah pencerahan,
ketika penaku lantang bicara,
mengelabuhi kejujuran nurani,
meledakkan sebongkah ambisi,
dan kelekatanku pada gebyar dunia.
Jika sesal adalah akibat,
adakah sebab yang jadi penyebab,
tetap tak kutemukan jawaban,
hingga tertulis puisi minimalis,
di antara keinginan yang maksimalis.
PUISI CINTA
Jangan paksa aku menulis puisi cinta,
aku takkan pernah mampu melakukannya,
karna aku bukanlah pencinta sejati,
hanya Dialah Sang Maha Pencinta
Jangan suruh aku membuat karya sastra,
aku takkan sanggup menyamainya,
karna aku bukanlah sang pencipta kata-kata,
hanya di ayat-ayatNya tertulis karya sastra maha agung.
Sajakku hanyalah tetesan kuasaMu,
yang kupungut di sela-sela kebodohanku.
Bukan niat untuk dipuji,
karna pujian tidaklah penting bagi seorang pencariMu.
Kala nyayian jiwa terdengar sumbang di telinga,
gontai langkahku,
telungkup, tersedu
sebak rasa di dada
Wahai Sang Pemilik cinta,
Maha Pencinta,
berikan aku cinta,
jadikan aku pencinta,
walau hanya sebutir di tengah gurun pasir cintaMU.
PAHLAWAN
Bukan berteriak jihad,
tapi kemuliaan telah indah kau pahat,
meringankan beban sesama umat,
ketika bumi serasa bagai kiamat,
serentak kau menjadi sepakat,
bahwa semua mahkluk harus selamat.
Bukan mencari untung,
tapi nyawa rela kau sabung,
ketika jerit tangis menusuk jantung,
tak cukup kau duduk termenung,
atau hanya berdiri mematung,
kau tunjukkan langkahmu yang agung.
Bukan hanya berucap simpati,
mengobral janji menjual teori,
kau berdiri gagah berani,
memenuhi panggilan nurani,
menghibur ibu pertiwi,
yang tengah menangis bersedih hati.
Bukan memburu gelar pahlawan,
cukup disebut sebagai relawan,
menjujung tinggi nilai kemanusiaan,
menyelamatkan alur kehidupan,
tanpa mengharap imbalan dan pujian,
kau berjuang di jalan Tuhan.
NYANYIANMU..
Nyayianmu,
denting gitarmu,
menembus kulitku,
mengoyak dadaku.
Bulan terpana,
bintang mengernyit,
angin diam terhenti,
sejenak mendengarmu.
Bukan lagu sendu,
tapi membuat terpaku,
bukan lagu jenaka,
tapi membuat ceria.
Di manakah aku?
kembali ke jaman batu,
atau mengalami dejavu,
saat suaramu mengalun.
Andai bisa kubeli lagumu,
berapapun harganya,
rela kujual diri ini,
rela kugadaikan jantung ini.
Nyayianmu,
bagai pedang terhunus,
menikam rasaku,
membelah sukmaku.
NODAI AKU SEKALI LAGI
Jika aku masih kau anggap gagu,
maka rembulan adalah teman baikku,
karena aku banyak berguru padanya,
menimba ilmu tentang kesabaran,
dan kami sama-sama tak suka banyak bicara.
Aku tak ingin membalas fitnahmu,
sekeji apapun itu adalah bagian dari cerita,
yang harus kuhadapi dengan senyuman,
dan aku tak pernah bergeming dari sikapku,
karena aku tak ada urusan dengan kebencian.
Lihatlah kobaran api itu,
semua setuju kalau dia adalah pemusnah,
tapi setiap insan membutuhkan keberadaannya,
menikmati kehangatan dan terang sinarnya,
maka jangan pandang sesuatu hanya dari sisi kirinya.
Tak sadarkah kau dengan segala gunjinganmu,
menebarkan noda-noda hitam di wajahku,
mempermalukanku hingga anak cucu,
andai semua itu belum mampu memuaskanmu,
maka nodai aku sekali lagi.
MENGHITUNG NAFAS
Menghitung nafas,
satu demi satu,
nikmat sejuk terasa,
dan entah masih berapa banyak,
jatah udara segar untukku.
Mengikuti waktu,
detik demi detik,
bagai dibawa kereta berjalan,
dan entah masih berapa lama,
sisa masa yang kujalani.
Hidup bukan hak mutlakku,
sekedar menjalani masa peredaran,
jika Yang Punya hendak memanggil,
siang atau malam pantas adanya,
tiada daya untuk menghindar.
Jika masih bisa bernafas,
jika masih punya waktu,
sebelum berhembus nafas terakhir,
sebelum menghadapi detik terakhir,
jangan sia-siakan nafas dan waktumu.
LUKIS AKU DILANGIT-LANGIT HATIMU
Lukis aku di langit-langit hatimu,
bukan dengan sebilah kuas kecil,
tapi dengan ujung lentik jarimu.
Bukan dengan tinta aneka warna,
tapi dengan rona merah bibirmu.
Lukis aku di langit-langit hatimu,
agar ketika kau pejamkan mata,
senyumku masih bisa kau lihat.
Agar ketika dingin menjeratmu,
aku bisa hangatkan jiwa sepimu.
Lukis aku di langit-langit hatimu,
agar pertama yang kau pandangi,
saat bangun dari pulas tidurmu,
hanya salam dan sapa indahku,
yang membarakan awal harimu.
Lukis aku di langit-langit hatimu,
agar ke manapun kakimu berpijak,
aku selalu menyertai langkahmu,
menemani setiap gundah jiwamu,
walau jasad ini tiada bersamamu.
Lukis aku,
agar kau tak melupakanku,
agar aku selalu membayangimu,
karena aku telah melukismu,
di setiap sudut dalam sukmaku.
KEBUMIKAN NAMAKU DIHATIMU
Kebumikan namaku di hatimu,
pastikan hanya ada satu pusara di sana,
untuk kau ziarahi dalam tiap helaan nafasmu,
dan kau taburi dengan bunga cinta setiap waktu.
Seandainya kau ingin merangkai beberapa aksara,
untuk kau rentangkan menjadi sebuah nama,
yang akan kau baca di kala sedih dan gembira,
yakinlah tak akan ada nama indah selain namaku.
Sepertinya tak ada lagi yang perlu kau ingat,
akan segala hal tentang corak dan bias warnaku,
karena seinchipun aku tak pernah berjarak darimu,
dan melupakanku hanya terjadi dalam amnesiamu.
Kebumikan namaku di hatimu,
jadikan seakan aku anggota badanmu sendiri,
karena ketika ada yang mencoba menyakitimu,
akulah yang pertama kali merasakan perihnya.
GAULI AKU
Demi dirimu,
musnah kejayaanku,
hanya tinggal satu,
satu-satunya,
yang pertama-tama,
dan terakhir kali,
kugenggam erat,
rapat tanpa sekat,
sampai kapanpun,
tetap akan kuingat.
Dialah janji setiaku,
maka dari itu,
setialah kepadaku.
Pintamu padaku,
agar kucurahkan semua,
deburan kasih sayang,
tanpa menyisakan,
celah ruang di hati,
untuk nama selainmu,
walau tidaklah mudah,
telah kuperjuangkan,
mati-matian,
hingga mati rasa ini,
terhadap segala godaan,
maka dari itu,
sayangi aku.
Karenamu,
kini aku sendiri,
teman menjauhi,
runtuh kepercayaan diri,
hingga tiada kekuatan lagi,
singgasanaku terkudeta,
tak ada salam hormat,
hilang sambutan hangat,
sahabat setia pergi,
satu demi satu,
tak ada yang mau bergaul,
maka dari itu,
gauli aku.
FENOMENA DIMATA
Bukan penyebab sedih dan senangku,
ketika fenomena lalu lalang di depanku,
semua prasangka tak perlu kuyakini,
karena aku tak peduli kepastian lagi.
Benarkah yang kulihat warnanya putih?
sedang sejatinya ia berwarna hitam.
Benarkah yang kudengar nyayian surga?
sedang sebenarnya itu senandung setan.
Tak ada kebaikan dari mahluk apapun,
ketika kacamata ego ini masih kukenakan,
aku tak ingin berkutat dalam kebodohan,
lupa keindahan telah lama bersemahyam.
Tak ada kebahagiaaan yang abadi,
tak ada pula duka terus melukai,
datang tiba-tiba lalu menerpa,
pergi sendiri berlalu begitu saja.
ELANG JAWA
Wahai kau Elang Jawa,
lama tak kudengar kabarmu.
Sorot matamu tak setajam dulu.
Kepak sayapmu tak terdengar menggelegar lagi.
Di manakah keangkuhanmu?
Tampaknya kau tak lagi merindukan gemerlap duniamu.
Pelangi tempat kau menari kini telah melepuh,
warnanya pudar menjadi kelabu.
Telah habiskah sisa-sisa keperkasaanmu?
Wahai kau Elang Jawa
kau berdiam diri di goa batu putih itu.
Mencari jejak mimpimu yang telah lama hilang,
dicuri oleh anganmu sendiri.
Jikalau badai tak pernah berkunjung,
andai cahaya masih mengiringi terbang tinggimu,
tak kan pernah ada penyesalan di ujung paruhmu.
Ketika angin lirih telah murka menjadi badai,
maka kini kau temukan hidupmu sendiri.
DUSTA TERINDAH
Aku letih,
dengan semua dalih,
yang kau ucap dengan fasih,
meyakinkan kasihmu yang putih,
padaku yang tak bisa memilih,
hingga membuatku tersisih,
tertampar kepalsuan terbersih.
Aku penat,
menyaksikan segala siasat,
yang kau tebar penuh muslihat,
kau perankan tanpa ada cacat,
hingga terlihat bagaikan malaikat,
di balik niatmu yang berkarat,
menabur kebohongan terhebat.
Aku lelah,
menahan semua resah,
karena hatimu telah terbelah,
melemparkanku bagai sampah,
hingga kuakui aku telah kalah,
dan menahan rasa yang berdarah,
terlukai tajamnya dusta terindah.
DEMI YANG TERCANTIK
Demi yang kukagumi,
aku memberanikan diri,
untuk menulis sebuah puisi,
yang tak seindah pelangi,
namun sebuah kejujuran hati,
Demi yang kurindu,
aku rela menjadi debu,
dan tak pernah merasa jemu,
bediri mematung untuk menunggu,
pembebasan jiwa yang terbelenggu.
Demi yang kupuja,
biarlah aku menjadi lupa,
tentang diriku yang sebenarnya,
karena aku takkan pernah ada,
tanpa hembusan sebuah sabda.
Demi yang terindah,
aku sadar begitu rendah,
sedikitpun tak terlihat gagah,
berjalan saja harus dipapah,
agar tidak terjerembab ke tanah.
Demi yang tercantik,
lemah bibirku berbisik,
melantunkan kata terbaik,
tanpa dilapisi warna-warni lipstik,
tentang kebenaran yang setitik,
Demi yang tiada cacat,
aku selalu ingin mencatat,
makna-makna yang tersirat,
di antara dunia penuh siasat,
agar aku senatiasa selamat.
Demi keagunganNya,
aku selalu memuja,
aku selalu mengagumi,
aku selalu merindu,
akan semua keindahanNya.
CATATAN KAKI
Catatan-catatan panjang,
atas langkah-langkah kakimu,
yang tegak dan yang terhuyung,
yang lurus dan yang melengkung,
yang bebas dan yang terpasung,
pernahkah coba kau baca lagi?
Bukankah jalan lurus masih terbentang,
halus mulus dan menenteramkan jiwamu,
tapi mengapa kau pilih yang menyimpang,
kau lalui dengan secercah senyum,
walau terjal dan berbatu amat tajam,
dan perih di telapak seakan tak kau rasakan.
Coba tengok ke belakang sejenak,
jejak-jejak itu masih jelas terlukis,
tak mampu terhapus hujan yang menderu,
hingga musimpun telah berganti kemarau,
kaupun masih enggan mengingat suatu hari kelak,
saat dibukanya semua catatan atas langkah kakimu.
BUKAN INGINKU
Siapa juga yang ingin seperti ini,
hati yang dulu lapang terbentang,
kini sarat lukisan manis senyummu,
menelantarkan keangkuhan klasik,
jatuh berantakan berkeping-keping,
bagai halilintar berkilat tanpa suara,
seolah gemuruhnya redam terpendam,
terbuai harum aroma rambutmu,
yang terurai membelai sukmaku.
Siapa juga yang mau seperti ini,
pikiran yang dulu bebas dari batas,
kini harus tersekat indah bayangmu,
mengosongkan segala isi di sanubari,
menjadikan kehampaan kukuh berkuasa,
di antara rumpun-rumpun harapan,
yang menjulang menantang pelangi,
untuk mengadu kecerahan warnamu,
yang terbatik pada kisi-kisi jiwaku.
Siapa juga yang suka seperti ini,
angan yang dulu tak pernah terbang,
kini melambung meyeruak ke langit,
bagai layang-layang tak bertemali,
lepas ke atas membawa mata belati,
menusuk lapisan kodrat yang melentur,
hingga terbedah jahitan di wajah awan,
menjatuhkan tetes hujan kesyahduan,
menyirami benih-benih kasih untukmu.
AROMA HUJAN
Aroma hujan itu datang lagi,
memekarkan jiwaku,
asal tahu saja ,
aku begitu merindukannya,
karena dialah peradabanku,
yang mengijinkan batinku tertawa.
Sekawanan burung yang berbaris indah,
tak jua hendak mengepungku,
datanglah sahabat-sahabatku,
hitamkan aku dengan warnamu,
hilangkan silsilah yang membelengguku,
dan ajari aku melarikan diri.
Pada sebuah titik di mana aku meletih,
kukagumi daun-daun yang jatuh,
karena dia amatlah jantan,
menantang kepongahan badai,
lalu berteriak dengan lantang,
“Telah kuselaraskan kehidupan” .
Demikianlah adanya,
aroma hujan itu akhirnya pergi juga,
menyisakan kedamaian,
tetapi bukanlah berakhirnya usahaku,
untuk menjemputnya di ujung cakrawala,
pada saatnya nanti.
APA KHABAR NURANI??
Apa kabar nurani?
lama kita tak bersua,
aku telah lupa tentangmu,
Ke mana saja selama ini?
Dulu kau adalah sahabatku,
guruku,
penasehatku,
tapi karena kesibukanku,
keangkuhanku,
kelemahanku,
kau kuabaikan begitu saja.
Setelah aku bosan denganmu,
banyak yang menggantikanmu,
kumanjakan mataku,
mulutku,
lidahku,
telingaku,
kuserap semua nikmat dunia,
kunikmati,
kuperjuangkan mati-matian,
hingga akhirnya aku lelah,
terpuruk dalam sesal.
Apa kabar nurani?
kali ini ingin kujalin lagi,
bemesra denganmu,
seperti dulu,
mengulang masa indah,
kudengar kau,
kusambut kau,
kuikuti perintahmu,
karena aku tahu,
kau selalu benar,
selalu meneteramkanku.
Bukalah mataku,
setelah kebutaanku,
terangi jalanku,
setelah kegelapan,
ajari aku lagi,
tentang cinta kasih,
tuntun langkahku,
menapaki jalan licin,
yang menggelincirkan,
agar tak pernah kuulang,
terperosok pada lubang yang sama.
ANDAI DIAMKU BISA BICARA
Karena bulan enggan bercerita,
Patutkah bintang mewakilinya?
Sedang kunang-kunang yang beterbangan,
redup sinarnya terselubung kegalauan,
mendalam.
Jika rasa ini tak pernah menjadi suara,
biarlah getaran hati tumpah meluap,
walau tak bisa ditafsirkan oleh mendung,
tetapi sebuah rahasia tetap akan terungkap,
suatu saat.
Karena mentari terlalu banyak tugas,
pantaskah lautan jadi tempat mengadu?
Sedang kata-kata tetap menjadi kata-kata,
tak harus terucap dalam sebuah kalimat,
tanpa cacat.
Andai diamku bisa bicara,
dia akan menyampaikan kepada dunia,
dia akan bernyanyi bagai seorang diva,
nyanyian tentang pelangi di dalam kepala,
penuh warna.
AKU TAK PUNYA TANDA KOMA
Aku tak punya tanda koma,
untuk menghentikan rasaku,
bagai kecepatan kilat cahaya,
dia melaju bebas tiada tali kendali.
Entah apa penyebabnya,
gravitasimu begitu kuat,
menarikku hingga terjerembab,
ke dalam pelukmu yang begitu hangat.
Ke mana kan kucari tanda koma,
untuk kuletakkan di ujung hatiku,
agar arus pesonamu tak menyeretku,
ke ladang rindu yang terhampar lebar.
Mantra apa yang telah kau baca,
begitu telak menembus dadaku,
membuatku menyerah tanpa syarat,
tunduk terikat pada keanggunanmu.
Sungguh, tiada pernah kuduga.
Sungguh, kau telah menaklukkanku,
Sungguh, kukagumi keindahanmu.
Sungguh, aku tak punya tanda koma.
AKU INGIN MENCIUMMU SETIAP HARI
Ibu,
boleh kan aku merayu?
aku ingin berbaring di pangkuanmu,
mengadu tentang hari-hari lelahku,
tentang keras dunia,
yang tak seteduh kasihmu,
dan ingin kupertanyakan,
mengapa di luar sana,
tak pernah kutemukan keikhlasan,
seperti keikhlasanmu padaku.
Ibu,
Belailah rambutku,
pijatlah lenganku,
usaplah dahiku,
aku ingin membasahi pangkuanmu,
dengan air mataku,
dengan keringat dinginku,
dan ninabobokan aku,
bacakan kisah-kisah tentang indahnya surga,
hingga aku terlelap.
Ibu,
Ibuku sayang,
acap kali kulihat,
orang-orang hanya sempat mencium ibunya,
sekali saja,
saat jasad ibunya hendak dikebumikan,
sungguh,
aku tak ingin seperti itu,
maka ijinkan aku,
untuk menciummu setiap hari.
AKU INGIN MATI SERIBU KALI
Aku ingin menjadi bintang,
karna dia selalu damai dalam terang,
tak pernah angkuh walau dipuji,
tak pernah sedih walau tertutup awan.
Aku ingin menjadi gunung,
karna dia selalu perkasa,
bagai bima dengan gadanya,
menebar keteduhan di jagad raya.
Aku ingin menjadi sungai,
mengalir jernih membawa harapan,
beriak kecil terbawa hingga ke muara,
takkan berubah walau ditempa masa.
Aku ingin menjadi rumput,
luas menghijau menyejukkan jiwa,
walau tercabut takkan binasa,
walau terinjak takkan teriak.
Aku ingin menjadi kabut,
menghangatkan manusia bagai selimut,
mewarnai alam di setiap sudut,
datang dan pergi tanpa melukai.
Aku ingin selalu bermimpi,
membawa angan melintasi bumi,
andai hanya terwujud setelah mati,
aku ingin mati seribu kali.
AJARI AKU MEMBENCIMU
Ajari aku membenci,
pada semua rasa benciku,
sebab takkan ada keindahan,
kala masih ada kebencian di hati.
Ajari aku mencela,
pada segumpal kesombonganku,
karena aku tak dapat melihat,
betapa lemahnya diri ini.
Ajari aku menertawakan,
pada diriku yang amat lucu,
bagai badut berbalut bantal,
menjadi tabir kemunafikan,
Ajari aku menghina,
pada diriku yang amat hina,
karena di hadapan keagunganNya,
tak mungkin kubusungkan dada.
Ajari aku mmerendahkan,
pada diriku yang amat rendah,
walau anganku melayang tinggi,
kelak juga akan menjadi tanah.
Ajari aku,
tentang hidup dan kehidupan,
agar aku menjadi hambaNya,
bukan hanya patung berjalan.
AKU DAN KETIADAANKU
Di mana aku,
ketika berada di sisimu,
seakan lenyap tak berpuing,
sirna tak berjejak.
Aku hilang,
menyublim berganti raga,
hingga tak kukenali diriku,
saat kugenggam erat jemarimu,
Aku adalah ketiadaan,
yang ada hanyalah cinta,
jelmaan selangit rindu,
yang bisa kau rasa hadirnya.
Atas nama ketiadaanku,
atas dasar kerinduanku,
atas unjuk perasaanku,
kasihi aku sepanjang hidupmu.
AKU PERNAH MENJADI BINTANG DILANGIT
Aku pernah menjadi bintang di langit,
yang berkedip di keluasan gurun cahaya,
mencoba menarik sepenggal perhatian,
tapi hanya kau pandang dari sudut matamu,
dan ketika semilir angin terkembang sayapnya,
sejuk senyummu pun terurai menjadi badai,
yang meruntuhkan kedipan bintang itu,
terjatuhlah aku mengerang dalam kedukaan.
Aku pernah menjadi batu karang,
yang tak pernah goyah mempertahankan rasa,
sedikit bergeming bukanlah sifat yang kumaklumi,
tapi di matamu seakan aku tak pernah berdiri,
seperti batang pepaya yang telah lelah berbuah,
terhuyung tanpa kasihmu yang menyangga,
dan rapuhlah aku dalam kesendirian ini.
Aku sering menjadi bukan diriku,
tak jarang harus melupakan segudang ingatan,
bersolek menutup ribuan belang di wajahku,
agar aku menjadi seperti yang kau inginkan,
agar aku menjadi dewa yang menaungi hidupmu,
walau harus kuabaikan arti sebuah jati diri,
yang kuwarisi sejak sebelum kau dilahirkan.
BIARKAN AKU JADI MINORITAS
Biarkan aku jadi minoritas,
tak ingin mengikuti mereka,
karena inilah jalanku,
yang ingin kutempuh,
hingga ajal menjemputku.
Biarkan aku jadi minoritas,
tak takut sendiri dalam sepi,
tak sedih digunjing seribu mulut,
karena inilah pilihanku,
yang kugigit gigi gerahamku.
Biarkan aku jadi minoritas,
yang menolak undangan pestamu,
mengabaikan tawaran manismu,
menikmati indahnya dunia,
yang sekejap tapi berakhir duka.
Bukankah kau tahu?
para penghuni surga itu,
adalah sedikit di antara manusia,
tak inginkah kau,
menjadi yang minoritas itu?
Biarkan aku jadi minoritas,
yang mungkin sulit kau mengerti,
karena ketakutanku hanya sederhana,
tak ingin dihina penduduk langit,
dihina pula penduduk bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar